Anja’s POV
Jamie mengajakku
pergi ke Café Cherry hari ini. Ya, café itu adalah tempat dimana biasanya
Valerie menyanyi untuk bekerja. “Please?”
Jamie memohon kepadaku.
“Kemaren katanya gue
mau dikarantina di rumah, disuruh ngerjain soal mat sama lu.” Selaku pada
Jamie. Aku memang tinggal serumah dengan Jamie. Ketika aku pindah ke AS, ke
Korea, ke Indonesia, Jamie sudah terbiasa mengikutiku. Ia sudah seperti saudara
kandungku. Bahkan Farid, kakak tiriku, tidak sedekat itu denganku. Orangtuaku
juga sudah menganggapnya keluarga. Keluarga kami berdua berteman. Melalui tinggal
denganku, orangtuanya membuat deal dengan orangtuaku untuk membuat Jamie
mandiri. Setiap bulan orangtuanya mengirimkan uang untuk Jamie, tetapi Jamie
harus mengurusnya sendiri. Mungkin karena itu ia lebih baik dalam bidang hitung-hitungan
kebanding denganku.
“Kali ini saja aku cancel, ya?”
“Apa sih dengan ‘aku’
‘kamu’ itu? Rese. Ini pasti gara-gara Yongguk. Semenjak gue skype-an sama dia,
lu jadi rese.” Aku bertindak ceroboh. Aku mengatakannya.
“Hei! Jadi selama
ini kamu skype-an sama si Yongguk itu?! Aku kan udah bilang, jangan lagi
berhubungan dengan Yongguk! You’re my
property!” suara Jamie meninggi.
“Let me tell you something, no way in hell I’m
your property! And, you’re the one who made that stupid deal. I didn’t say I
agree,” aku protes. Memang perjanjian itu bodoh banget. Yah, dibuatnya juga
waktu kita masih 10 tahun. Jamie saja melebih-lebihkan. “Lagian, ngapain sih lu
sok lebay banget soal begituan?”
“What if he’s now more dangerous since
dia ikut boyband? Gue gak lebay soal
itu. Gue begini because I...” matanya
yang biru lekat-lekat menatapku. Tiba-tiba ia memotong, “Pokoknya sekarang kita
ke sana ya, please?”
Belum pernah aku
melihatnya se-emosi itu. Aku merasa bersalah. Aku diam-diam penasaran akan
kata-katanya, tetapi mengabaikannya. “Iya deh. Ayo.” Akupun menaiki mobilnya.
***
Tiba di café, aku menemui Valerie yang sedang
bersiap-siap. Aku melambaikan tanganku. “Hai, Val! Semangat ya!” aku tersenyum
lebar, lalu mengambil tempat duduk di dekat panggung, tempat yang sudah Jamie
sediakan. Di tengah-tengah lagu Back to
December yang dibawakan Valerie, aku melihat tangan Jamie di atas tanganku
di meja. Awalnya aku syok, tapi kupikir itu seharusnya biasa saja antara teman super dekat. Jadi aku diam saja, melihat
wajahnya yang masih menghadap depan.
Baru kali ini aku
sadari, Jamie memiliki tubuh atletis. Di balik mata biru dan rambut chesnut-nya, ada wajah lonjong yang
bergaris tegas. Sebenarnya Jamie cukup keren. Banyak orang menyapanya kebanding
aku. Sense of Fashion-nya juga bagus.
Majalah yang sempat datang ke SMAK KRIZA pasti akan mengajaknya berfoto untuk fashion statement. Aku sering melihatnya
ditemui beberapa perempuan. Mungkin perempuan-perempuan itu menembaknya. Kenapa
ia tidak menerimanya, padahal mereka lebih cantik dariku?
Tiba-tiba Jamie
menoleh ke arahku. Aku menggelengkan kepalaku, menahan rona merah pipi. Jamie memegang
tanganku kuat. “Anjani, look here.”
Aku menyembunyikan
rona wajahku sebisa mungkin di lampu yang remang-remang, lalu menatapnya. Mata biru
lautnya lurus menatapku. Musik berhenti. “Kenapa?”
“Actually, we came here so that I can say...
that I want to be the only man that cares for you.”
“Oh no you can’t.”
“Why?”
“Because I still have dad. You won’t kill him, right?”
No comments:
Post a Comment