Tuesday, March 26, 2013

Chapter 11

Anja’s POV

Jamie mengajakku pergi ke Café Cherry hari ini. Ya, café itu adalah tempat dimana biasanya Valerie menyanyi untuk bekerja. “Please?” Jamie memohon kepadaku.
“Kemaren katanya gue mau dikarantina di rumah, disuruh ngerjain soal mat sama lu.” Selaku pada Jamie. Aku memang tinggal serumah dengan Jamie. Ketika aku pindah ke AS, ke Korea, ke Indonesia, Jamie sudah terbiasa mengikutiku. Ia sudah seperti saudara kandungku. Bahkan Farid, kakak tiriku, tidak sedekat itu denganku. Orangtuaku juga sudah menganggapnya keluarga. Keluarga kami berdua berteman. Melalui tinggal denganku, orangtuanya membuat deal dengan orangtuaku untuk membuat Jamie mandiri. Setiap bulan orangtuanya mengirimkan uang untuk Jamie, tetapi Jamie harus mengurusnya sendiri. Mungkin karena itu ia lebih baik dalam bidang hitung-hitungan kebanding denganku.
“Kali ini saja aku cancel, ya?”
“Apa sih dengan ‘aku’ ‘kamu’ itu? Rese. Ini pasti gara-gara Yongguk. Semenjak gue skype-an sama dia, lu jadi rese.” Aku bertindak ceroboh. Aku mengatakannya.
“Hei! Jadi selama ini kamu skype-an sama si Yongguk itu?! Aku kan udah bilang, jangan lagi berhubungan dengan Yongguk! You’re my property!” suara Jamie meninggi.
Let me tell you something, no way in hell I’m your property! And, you’re the one who made that stupid deal. I didn’t say I agree,” aku protes. Memang perjanjian itu bodoh banget. Yah, dibuatnya juga waktu kita masih 10 tahun. Jamie saja melebih-lebihkan. “Lagian, ngapain sih lu sok lebay banget soal begituan?”
What if he’s now more dangerous since dia ikut boyband? Gue gak lebay soal itu. Gue begini because I...” matanya yang biru lekat-lekat menatapku. Tiba-tiba ia memotong, “Pokoknya sekarang kita ke sana ya, please?”
Belum pernah aku melihatnya se-emosi itu. Aku merasa bersalah. Aku diam-diam penasaran akan kata-katanya, tetapi mengabaikannya. “Iya deh. Ayo.” Akupun menaiki mobilnya.
***
Tiba di café, aku menemui Valerie yang sedang bersiap-siap. Aku melambaikan tanganku. “Hai, Val! Semangat ya!” aku tersenyum lebar, lalu mengambil tempat duduk di dekat panggung, tempat yang sudah Jamie sediakan. Di tengah-tengah lagu Back to December yang dibawakan Valerie, aku melihat tangan Jamie di atas tanganku di meja. Awalnya aku syok, tapi kupikir itu seharusnya biasa saja antara teman super dekat. Jadi aku diam saja, melihat wajahnya yang masih menghadap depan.
Baru kali ini aku sadari, Jamie memiliki tubuh atletis. Di balik mata biru dan rambut chesnut-nya, ada wajah lonjong yang bergaris tegas. Sebenarnya Jamie cukup keren. Banyak orang menyapanya kebanding aku. Sense of Fashion-nya juga bagus. Majalah yang sempat datang ke SMAK KRIZA pasti akan mengajaknya berfoto untuk fashion statement. Aku sering melihatnya ditemui beberapa perempuan. Mungkin perempuan-perempuan itu menembaknya. Kenapa ia tidak menerimanya, padahal mereka lebih cantik dariku?
Tiba-tiba Jamie menoleh ke arahku. Aku menggelengkan kepalaku, menahan rona merah pipi. Jamie memegang tanganku kuat. “Anjani, look here.”
Aku menyembunyikan rona wajahku sebisa mungkin di lampu yang remang-remang, lalu menatapnya. Mata biru lautnya lurus menatapku. Musik berhenti. “Kenapa?”
Actually, we came here so that I can say... that I want to be the only man that cares for you.”
“Oh no you can’t.”
“Why?”
“Because I still have dad. You won’t kill him, right?”

No comments:

Post a Comment