Wednesday, March 27, 2013

Author's Note: Yumi Yuli

  Hi! This is Yumi Yuli, as you have known on Muffin Story, and this is my first time working with other authors (or what you can say high school students who are aspiring writer). I will be writing in the point of view of Anjani (Anja), and James (Jamie). But my main character is Anjani. There might be more point of view of other new characters of mine, but let's just keep that for later on. It will be very exciting, and probably some of you wonders why I mention a different blog than N.C. and A.Z. Let's just say that I don't collaborate on Zehn-Vier project with them, so I mentioned mine. But check theirs too, because the stories are thrilling.

  Anyway, rather than disturbing your activity (of reading) by this note, I'd rather present you this story, a mix of everything at once. We hope that you enjoy it, and that the story will lasts and lingers at the back of your head. Pop it out sometimes, and spread it to others. Oh! And we are very open for your critics and comments. Feel free to interact with us.
  
  Hi! YumiYuli di sini, dan ini pertama kalinya gue bekerja sama dengan penulis lain (alias anak SMA yang terobsesi menjadi penulis seperti gue, haha). Gue akan menulis dalam POV-nya Anjani (Anja), dan James (Jamie). Tapi pemeran utama dari gue adalah Anjani. Tentunya akan ada POV-POV lain dari karakter yang baru yang akan datang, tetapi disimpan saja itu untuk nanti. Mungkin ada diantara kalian yang bertanya-tanya kenapa gue menulis website yang berbeda dengan N.C. dan A.Z. Gue nggak bekerja di project mereka yang lain, jadi gue tulis yang punya gue. Tapi, teteup kalian harus baca project mereka,karena isinya SERU BANGET.

  So, selamat membaca, have fun, dan semoga kalian suka. Jangan lupa komen dan rekomen(dasi) blog ini. 

Cheers!

YumiYuli  X

Tuesday, March 26, 2013

Author's Note from N.C

     Halo semuanya, nama gue N.C. atau kalo kalian udah baca AN-nya Angela, Nathania Chen. Bagi yang bingung, pen name gue ada dua, N.C sama N.Z. N-nya sama-sama Nathania cuman Z-nya itu nama keluarga yang masih dirahasiakan. Hehehe... Gue bakal seneng banget kalo ada yang mau tinggalin komen atau kirim e-mail ke gue terkait cerita yang kita tulis ini. Oh ya, tokoh utama gue Hyosung. Dan soal blog gue dan Angela, zehnvierjn.blogspot.com, kita bakal seneng banget kalo kalian baca atau sekalian promosiin ke temen-temen kalian. Tapi attention! Itu dalam bahasa Inggris, jadi mungkin akan sedikit membingungkan. Tapi Inggrisnya nggak susah-susah banget kok, jadi gak usah liat-liat kamus. Semoga kalian menikmati ;) 

N.C.

Chapter 12


- Schuyler POV  -

Baiklah. Aku masih tak mengerti hari ini. Bayangkan saja, aku masih belum bisa menghafal wajah-wajah itu. Aku hanya ingat ada seseorang yang seperti orang-orang di video klip korean pop yang terkenal itu. She’s so Korean. Satu lagi, looks so Indonesian. Dan yang satu lagi... entahlah.
Hari pertama masuk sekolah, aku bahkan belum bisa mengerti apa yang terjadi di kelas internasional itu. Sedikit orang, entahlah. Aku bahkan mengakui bahwa otakku tak dapat mengingat secara cepat. Butuh 1-2 minggu untuk itu.
Ah, laki-laki itu. Ya, tentu aku mengingat laki-laki cina yang selalu bersama Daniel. Aku bahkan tak tahu ia telah menapakkan kakinya di Indonesia. Ya, Luhan. Aku mengingatnya.
-Flashback-
“Kau Schuyler?”
Aku terdiam. Siapa? Aku tak merasa diikuti sedari tadi. Aku pun berbicara tidak dengan suara yang keras. Dia siapa? “Iya?” jawabku tanpa menoleh. Aku takut, sesuatu yang buruk terjadi. Dan tiba-tiba aku mengingat saat ia memegang tanganku saat aku takut. Aneh, namun air mataku jatuh lagi. Aku menahan suara isakanku. Namun percuma saja, air mataku sudah jatuh ke lantai berornamen kayu itu. Coklat. Aku seperti melihat semburat kehadirannya. Bayangan gelap yang tak dapat kuraih walau aku berlari.
“Jangan menangis.”
Aku tersadar dari lamunanku. Ia siapa? “Kau... siapa?” tanyaku yang masih sedikit terisak.
“Aku? Laki-laki yang sedari tadi kau pandangi. Kau bertanya-tanya mengapa aku melihat ke arah jendela? Iya?”
Aku terdiam. Air mataku tiba-tiba tertahan, dan kepalaku secara tak sadar mengangkat dirinya sendiri dan mataku dengan sendirinya menatap mata dan wajah orang itu. “A... Apakah kita pernah bertemu? Apa aku mengenalmu?”
“Kau tidak mengenalku, Schuyler. Aku juga tidak mengenalmu. Sedari tadi, aku melihat bayangan wajahmu melewatu sinar matahari yang memantulkan wajahmu. Kau sangat cantik, percayalah. Dan liontin itu sangat cocok menggantung pada lehermu. Kau tahu, kita memang tidak pernah bertemu. Namun, ingatkah kau atas kejadian 4 tahun yang lalu?”
Aku terdiam. 4 tahun lalu? Entahlah aku masih mengingatnya atau sudah melupakannya. 4 tahun yang lalu? Yang mana? Banyak hal yang terjadi  pada 4 tahun yang lalu. Apakah mungkin jika... “Berkaitan dengan... Daniel?” tanyaku penasaran. Aku tak mungkin percaya apabila ia mengatakan hal yang tak ingin aku dengar.
“Tentu saja. Ia meninggal 3 minggu yang lalu bukan? Dan itu mengapa kau pindah kemari? Melupakan Daniel?”
Aku terdiam, tak tahu harus bicara apa, tak tahu harus melakukan apa. “Ba... Bagaimana kau... tahu?”
-End of flashback-
“Schuyler.”
Oh, what?!” aku tersadar dari lamunanku itu. Akupun sedikit berteriak pada ibuku yang berada di luar kamarku.
I got something. You’ll be accompanied by a girl. In Indonesia. Starts tomorrow.”
“WHAT?! You’ve gotta be joking, Mom!” dan seketika itu pula, aku punya rencana besar.

Chapter 11

Anja’s POV

Jamie mengajakku pergi ke Café Cherry hari ini. Ya, café itu adalah tempat dimana biasanya Valerie menyanyi untuk bekerja. “Please?” Jamie memohon kepadaku.
“Kemaren katanya gue mau dikarantina di rumah, disuruh ngerjain soal mat sama lu.” Selaku pada Jamie. Aku memang tinggal serumah dengan Jamie. Ketika aku pindah ke AS, ke Korea, ke Indonesia, Jamie sudah terbiasa mengikutiku. Ia sudah seperti saudara kandungku. Bahkan Farid, kakak tiriku, tidak sedekat itu denganku. Orangtuaku juga sudah menganggapnya keluarga. Keluarga kami berdua berteman. Melalui tinggal denganku, orangtuanya membuat deal dengan orangtuaku untuk membuat Jamie mandiri. Setiap bulan orangtuanya mengirimkan uang untuk Jamie, tetapi Jamie harus mengurusnya sendiri. Mungkin karena itu ia lebih baik dalam bidang hitung-hitungan kebanding denganku.
“Kali ini saja aku cancel, ya?”
“Apa sih dengan ‘aku’ ‘kamu’ itu? Rese. Ini pasti gara-gara Yongguk. Semenjak gue skype-an sama dia, lu jadi rese.” Aku bertindak ceroboh. Aku mengatakannya.
“Hei! Jadi selama ini kamu skype-an sama si Yongguk itu?! Aku kan udah bilang, jangan lagi berhubungan dengan Yongguk! You’re my property!” suara Jamie meninggi.
Let me tell you something, no way in hell I’m your property! And, you’re the one who made that stupid deal. I didn’t say I agree,” aku protes. Memang perjanjian itu bodoh banget. Yah, dibuatnya juga waktu kita masih 10 tahun. Jamie saja melebih-lebihkan. “Lagian, ngapain sih lu sok lebay banget soal begituan?”
What if he’s now more dangerous since dia ikut boyband? Gue gak lebay soal itu. Gue begini because I...” matanya yang biru lekat-lekat menatapku. Tiba-tiba ia memotong, “Pokoknya sekarang kita ke sana ya, please?”
Belum pernah aku melihatnya se-emosi itu. Aku merasa bersalah. Aku diam-diam penasaran akan kata-katanya, tetapi mengabaikannya. “Iya deh. Ayo.” Akupun menaiki mobilnya.
***
Tiba di café, aku menemui Valerie yang sedang bersiap-siap. Aku melambaikan tanganku. “Hai, Val! Semangat ya!” aku tersenyum lebar, lalu mengambil tempat duduk di dekat panggung, tempat yang sudah Jamie sediakan. Di tengah-tengah lagu Back to December yang dibawakan Valerie, aku melihat tangan Jamie di atas tanganku di meja. Awalnya aku syok, tapi kupikir itu seharusnya biasa saja antara teman super dekat. Jadi aku diam saja, melihat wajahnya yang masih menghadap depan.
Baru kali ini aku sadari, Jamie memiliki tubuh atletis. Di balik mata biru dan rambut chesnut-nya, ada wajah lonjong yang bergaris tegas. Sebenarnya Jamie cukup keren. Banyak orang menyapanya kebanding aku. Sense of Fashion-nya juga bagus. Majalah yang sempat datang ke SMAK KRIZA pasti akan mengajaknya berfoto untuk fashion statement. Aku sering melihatnya ditemui beberapa perempuan. Mungkin perempuan-perempuan itu menembaknya. Kenapa ia tidak menerimanya, padahal mereka lebih cantik dariku?
Tiba-tiba Jamie menoleh ke arahku. Aku menggelengkan kepalaku, menahan rona merah pipi. Jamie memegang tanganku kuat. “Anjani, look here.”
Aku menyembunyikan rona wajahku sebisa mungkin di lampu yang remang-remang, lalu menatapnya. Mata biru lautnya lurus menatapku. Musik berhenti. “Kenapa?”
Actually, we came here so that I can say... that I want to be the only man that cares for you.”
“Oh no you can’t.”
“Why?”
“Because I still have dad. You won’t kill him, right?”

Chapter 10

Valerie’s POV

Kulangkahkan kakiku dengan bersemangat. Malam ini Jamie mau nembak Anja! Aku tak sabar menunggu datangnya giliranku malam ini.
Memang, kerja part-time itu merupakan hal tabu bagi semua siswa-siswi SMAK KRIZA. Tapi toh tak ada yang melanggar karena SMAK KRIZA itu secara tak tertulis merupakan tempat berkumpulnya orang-orang kaya, jadi mana perlu siswa-siswinya melanggar.
Sebenarnya aku juga tak mau bekerja seperti ini. Menghasilkan uang dengan suaraku. Kurasa suaraku itu tak pantas untuk dijual. Jujur, aku lebih suka menulis daripada menyanyi. Namun, ini rahasia dari semua orang – bahkan mama tidak tau!
Lagipula menyanyi itu lebih menghasilkan uang. Dan aku sedang butuh uang. Tak mungkin aku meminta dari Anja ataupun Jamie, berhutang itu hal tabu bagi keluargaku. Tapi untungnya, Anja dan Jamie telah berjanji untuk tidak membocorkannya ke sekolah.
Kini di hadapanku berdiri kokoh bangunan bernuansa pink-putih dan berplang ‘Cherry’. Kumasuki pintu kaca itu, meskipun tanda ‘close’ masih menggantung disana. Angel dan Via telah ada disana, mengelap-ngelap meja.
“Malam, Ngel, Vi!”
“Hei, Val! Rico di dalem tuh! Nyariin lu daritadi.” Sahut Angel tanpa menoleh ke arahku.
Rico? Ngapain dia kesini? Memang gue ada janji sama dia ya?
“Oh, ok. Thanks.” Kuulaskan senyum terbaikku sore itu dan bergegas menuju ke arah staff room.
“Valerie! My pal!” ujar seorang cowok berperawakan tinggi dan berkulit sedikit hitam, tanda ia berjemur – bukan negro.
You got a job for me?” kusahuti dia dengan sedikit ketus dan langsung pergi ke lokerku, mengambil make-upku.
“Ayolah, Val. Jangan ketus begitu. And, yes. I got a new job for you. But, I don’t think you’ll like it.” Ia membalikkan tubuhnya agar menghadap padaku.
I need fast money, Co. Pembayaran untuk minggu ini masuk kurang 3 juta.” Kupakai blush on pink ke kedua pipiku.
Well, you know, kalo lu mau, gua selalu siap bantuin lu.” Mendengar perkataannya, kuhentikan kegiatan poles-memoles eye shadowku. Kuletakkan peralatan make upku ke atas meja dan menatapnya sejenak.
I really appreciate it, but no, thanks.” Aku kembali melanjutkan pemakaian make-upku.
Are you sure?” tanyanya. Dapat kulihat bayangannya menaikkan salah satu alisnya dari cermin di hadapanku.
Yep. So what’s the job?”
“Hmm... ada orang luar yang baru datang. And katanya orkay. Well, the daughter is coming here to heal some past wounds and her dad want a girl, her age, to accompany her EVERYWHERE.” Aku diam mendengarkan. Kedengarannya cukuo mudah. Namun itu akan menghabiskan waktuku untuk kerja yang lain.
And plus, she just moved into your school.” Hah? Di SMAK KRIZA!?
Are you crazy? Gimana kalo ketauan? Gue bisa di DO!”
“Santai, Val! You can pretend to be her friend, and the problem is solved!”
“Bayarannya?”
“Cukup menarik. 500 ribu per hari. And if you stay over at her house, you’ll get another 100 thousand.” Waow. Itu banyak! “But watch out! Kalo lu ga memuaskan, lu bakal langsung dipecat.”
Aku diam.
Well, it’s your desicion. Call me if you wanna do this job.” Lalu Ricopun beranjak pergi.

Chapter 9

POV – Hyosung

Aku sedang mengerjakan PR bahasa Indonesiaku saat Jamie tiba-tiba masuk dengan seorang perempuan di belakangnya.
“Nah, disini. Val, Hyosung, Anja, ini...”
Schuyler. You should call me by that. S-c-h-u-y-l-e-r. It’s pronounced Skailer,” perempuan itu berkata. Dia cantik, tapi ada sesuatu yang membuatku penasaran. Sorot matanya terlihat sedih.
Oh, Schuyler. I’m Hyosung, and this is Valerie. And that one, Anja.” Aku teringat kata-kata Anja, aku harus lebih banyak bicara.
“Hi. Senang bertemu dengan kalian semua. Oh, apa ini kelas internasional? I’m looking for it,” tanya Schuyler.
Entah kepada siapa dia bertanya, tapi aku daoat menangkap pandangan matanya. Dia sedang melirik Luhan. Kenapa dia memandangi Luhan? Apa dia mengenalnya?
Anja memberitahu Schuyler ruang kelasnya dan Schuyler segera pergi. Selama pelajaran berlangsung aku terus berpikir... apa hubungan antara Schuyler dan Luhan?
- o -
                Hang out di café adalah salah satu hobiku di Seoul. Suara penyanyi country menenangkan hatiku. Mungkin hal yang sama dapat menghilangkan rasa rinduku pada Seoul. Aku menelusuri internet dan menemukan list café di Jakarta Barat. No. 7 : Café Cherry. Nama yang unik. Aku suka Cherry! Kuraih tasku berisi dompet yang sudah kusiapkan dan dengan segera meminta supirku untuk mengantarkanku kesana.
- o –
                Café Cherry memiliki interior dan exterior yang imut. Saat aku melangkahkan kaki memasuki café ini, terdengar alunan gitar dan nyanyian seorang perempuan. Taylor Swift – Back to December. Pilihan lagu yang bagus.
                Aku duduk dan memesan segelas coffee latte dan cherry shortcake. Iseng, kulayangkan tatapanku ke arah panggung. Apa yang kulihat membuatku kaget. Valerie!!! Dia sedang menyanyi disana!
                Aku berpura-pura tidak melihat apa-apa dan menoleh ke kiri. Sekitar 3-4 meja dariku, kulihat Jamie dan Anja. Jamie sedang menggenggam tangan Anja dan Anja menatapnya dengan tatapan terkejut. Detik itu juga, pesananku datang. Aku mengalihkan pandanganku sesaat ke arah panggung. Valerie sudah tidak ada disana.
                “Hyosung!!!,” kudengar bisikan di telingaku. Aku terlonjak. Valerie sudah duduk di sebelahku.
                “Malem ini Jamie mau nembak Anja! Gue mau bantuin Jamie.”
                Kulirik Jamie dan Anja sekali lagi. Keduanya masih terdiam. Aku tak sabar menunggu jawaban Anja...

Chapter 8

- Schuyler POV –

Keeskokan harinya, di sekolah. Aku melangkahkan kakiku ke arah sekolah ini. Indonesia, kira-kira negara seperti apa Indonesia itu? Baik? Atau bahkan jahat? Akankah Indonesia ini - entah seperti apapun itu – sama seperti Amerika?
                “Hai! Anak baru?”
                Ada seorang laki-laki yang menyapaku dalam bahasanyang aku bahkan tak mengerti. Semua kepindahan ini, semua datang secara tiba-tiba. Ayah dan ibu tidak pernah merencanakan akan tinggal di sebuah negara bernama Indonesia. Tepatnya, Jakarta. SMAK KRIZA tetap menjadi suatu nama yang aneh bagi telingaku.
                “Ah, maaf, aku belum lancar berbahasa Indonesia. Itu mengapa aku mengikuti kelas Internasional.” Ucapku. Kulihat kepalanya yang mengangguk, mungkinia mengerti apa yang aku maksud. Baiklah, itu bagus.
“Ah, aku mengerti. Bagaimana jika kau aku kenalkan kepada teman-temanku? Oh, namaku Jamie. Teman-temanku ada di kelas reguler, begitupun denganku. So, let’s go?”
Anak laki-laki ini. Entah mengapa, ada yang menarik dari dirinya. Ia terlihat pintar. Entah terlihat itu sama dengan asumsui / kepercayaan tetapi aku hanya melihat bukti fisik yang mungkin orang lain dapat mengiranya. Tapi, mungkinkah?
Okay. Let’s go.” Jawabku.
Aku mengikuti langkah kakinya. Ke kiri, ke kanan, lurus, belok sini, lorong ini... sampai kapan penderitaan ini akan berakhir? Rasanya, pantai masih menjadi tempat yang cocok untukku menenangkan diri. Hamparan pasir putih yang sebanding dengan air laut yang biru, indah dan menenangkan.
“Nah, disini. Val, Hyosung, Anja, ini...”
Schuyler. You should call me by that. S-c-h-u-y-l-e-r. It’s pronounced Skailer.” Ucapku. Entah itu perkenalan diri / pembelajaran bagi mereka. Okay, keduanya.
Oh, Schuyler. I’m Hyosung, and this is Valerie. And that one, Anja.”
Aku tersenyum. Mungkin ini dapat menjadi kesempatan bagiku melupakannya yang sudah bersama “yang lain”.
“Hi. Senang bertemu dengan kalian semua. Oh, apa ini kelas internasional? I’m looking for it.” Ucapku. Sedikit, aku melirik seseorang yang duduk di belakang pojok dekat jendela. Sinar matahari membuat sudut jendela itu terlalu bersinar, membuatku penasaran siapa yang tengah duduk disana dan menatap keluar. Seakan-akan menatap angan-angan yang telah pergi.
“Oh, kelas itu? Aku tahu. Tepat di sebelah kelas ini. Kau dapat keluar dan menemukannya di sebelah kiri ruangan ini. Disanalah kelas internasional. Dan, selamat datang.” Orang itu, Hyosung? Anja? Atau Valerie? Entahlah. Aku tak bisa menghafal raut wajah mereka dalam sepuluh menit. Lagipula, aku bukan detetif.

Chapter 7

POV : Anja

                Aku sedang berkutat dengan soal fisikaku sambil mengunyah permen karet bersama Jamie di perpustakaan.
                “Jamiee... this is so hard,” aku mengerang sambil menyandarkan kepalaku di meja.
                “Sst... You can do this. Now, jangan mengeluh yang nggak-nggak. Ini rumusnya salah,” Jamie menunjuk ke salah satu soal di bukuku, tepat di depan mataku. Aku menyentilnya pelan. “Nja, you need to study.”
                “Aku capek.”
                Jamie menepuk punggung bahuku. “Nja, kamu kecapean mikir.” Ada benarnya juga sih. Kalau aku melihat pelajaran yang susah, otakku pasti melayang kemana-mana.
                Pelan-pelan, Jamie melepas ikat rambutku lalu mengikatnya kembali. “Tuh kan, kalo kamu kebanyakkan mikir, nanti rambutmu mencuat kemana-mana.” Rambutku disisir dengan tangannya.
                “Jamie, you sound gay.”
                You’re a girl, not a boy. Actually, the only girl I care about.” Aku duduk tegak. Menatapnya. Rambutku sudah diikat rapi.
                What the hell happened to you?” mataku awas. Kutelusuri seluruh wajahnya
                I’m your guardian.”
                No, you’re not! My parents’ my guardian.”
                Ia tertawa. “I’m just joking.” Aku masih menatapnya awas, lalu melihat dua sosok di belakangnya.
                Hi Hyosung! And, Valerie!” aku menyapa mereka berdua. “So you guys finally knows each other, eh?” aku nyengir lebar. Jamie melihat mereka berdua dan ikut tersenyum. Hyosung diam saja. “Hyosung, you really gotta speak up!” aku tertawa.
                “Sepertinya kita mengganggu kedua lovebirds ini,” sindir Valerie. “Mau ke kantin, Hyosung?” ajaknya.
                Tiba-tiba bel berbunyi. Waktunya masuk kelas. Aku segera membereskan buku-bukuku.
                Looks like it’s class time,” aku menghela napas, “Anyway, we’re not lovebirds, he’s just my guardian,” aku mengedipkan mataku ke Jamie.
                Hyosung menatapnya bingung, dan Valerie tertawa.

Chapter 6


Valerie’s POV

                Cause we were both young when I first saw you~...”, kuakhiri salah satu lagu Taylor Swift yang kubawakan malam ini.
                Suara tepuk tangan memenuhi seisi café itu. Kubungkukkan tubuhku, memberi hormat lalu kembali ke back stage. Vicha kini telah ada di panggung, giliran dia untuk perform sekarang. Kuletakkan gitarku di atas meja riasku dan kuhempaskan tubuhku ke kursi.
                Great performance!”, kata Aldi, pemilik Café Cherry ini, “And here’s your payment!”
                Thanks!”, kuhitung bayaranku hari itu, “Loh? Di, ini kebanyakkan!”
                Your bonus!”
                Really? You’re my greatest boss!”, kupeluk Aldi dengan perasaan euforia lalu segera memasukkan bayaranku ke dalam tas.
                “Anggap saja itu sebagai bantuan gua. Anyway, you better go now.”, ia menunjuk jam dinding yang ada di back stage sambil meringis.
                “Gila! Malam amat! Guw cabut dulu, ya!”, aku mengemasi barang-barangku lalu bergegas pergi.
***
                “Val, kantin nggak?”, ajak Lucy.
                Nope. Gue masih mau nyelesaiin mat dulu nih. Susah banget gila!”
                “Mau nitip?”
                No, thanks. Oh! Gue nitip izin nggak rapat OSIS aja deh!”,  ujarku sambil menunjukkan pose peace.
                “Dasar! Iya deh, nanti gue sampein, byeeee~”, Lucy pun beranjak pergi.
                Kulanjutkan pr mat Pak Piko yang akan diperiksa pada jam terakhir nanti. Bisa gawat kalau pr ini nggak selesai. Pak Piko kan terkenal galak, apalagi kalau alasanku nggak ngerjain pr itu karena kerja semalam.
                “Hahh... akhirnya!”, desahku sambil mengulet-uletkan tanganku. Tanganku serasa mati rasa setelah menulis sebanyak itu.
                Kupandangi seisi kelas, hanya ada Hyosung. Apa?! Hyosung?? Aku mengusap-usap mataku, memastikan bahwa itu benar-benar Hyosung. Ternyata itu memang Hyosung. Aku pun menghampirinya, berharap bisa mencari tau tentang dia dan menghapuskan rasa penasaranku.
                “Hmm... Hyosung kan ya?”, panggilku.
                Cewek itu menoleh ke arahku dan melihatku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.
                “Kamu memanggilku?”, akhirnya ia mengeluarkan suara setelah beberapa detik kami hanya bertatapan.
                “Kamu?”, kuulangi kata-katanya dengan nada yang terdengar cukup aneh. Kamu? Masih ada ya orang yang ngomong pake aku-kamu ke temennya? Kupaksakan diriku menahan tawa. Woi! Woi! Nggak sopan banget sih, sama murid baru juga! Dengan segera kutepis segala pikiranku yang tadi.
                “Hai, Aku Valerie, but you can call me Val, everyone calls me like that. And welcome to SMAK KRIZA!”, kuputuskan untuk memakai aku-kamu juga, terkesan lebih sopan menanggapi caranya bicara tadi sambil menyodorkan tanganku, senyum tersungging di bibirku.
                Hening... tak kunjung ada jawaban darinya.
                “Emm... Hyosung? Kamu punya nama Indonesia?”
                Ia menggeleng lalu kembali diam. Yang ia lakukan hanya menatap diriku lekat-lekat.
                Kok jadi awkward gini ya? Kuputuskan untuk kembali mencari topik pembicaraan yang mungkin dapat kami bicarakan. Rasa penasaranku lebih besar daripada rasa maluku.
                “Emm... udah keliling sekolah? Kalau kamu mau, aku bisa mengajakmu.”
                “Boleh.”, ia mengangguk kecil lalu bangun dari tempat duduknya.
                Akhirnya!! Ia bicara!

Chapter 5


Point of view ^^ - Schuyler

                Langit itu biru, begitu juga laut. Tanah itu coklat, begitu juga kayu. Bunga matahari itu kuning, begitu juga teriknya matahari. Aku dan kau, bagaikan dua unsur yang sama. Memiliki warna yang sama setiap harinya. Aku berpikir apakah benar kau memang seseornag yang dikirimkan Tuhan untukku. Walau sekarang, aku menyesalinya. Aku terdiam, merenung. Pukul lima sore, sebentar lagi matahari akan kembali ke peraduannya. Aku menekuk kakiku, duduk dengan memeluknya dengan satu tangan sembari yang lainnya memainkan indahnya pasir putih di pantai ini. Aku tak sanggup tuk tengadahkan kepalaku. Selalu saja ada bulir-bulir air yang jatuh setiap aku mencoba untuk tenang. Satu tarikan nafas, berarti keinginan untuk meredam itu semua yang selalu saja gagal. Aku menengadahkan kepalaku. Akhirnya, melihat lembayung senja yang tergambar indah di depan mataku. Aku tersenyum, andai saja ia disini. Dan, air mata itu pun jatuh lagi.
_Flashback_
                “Mari kita berpisah. Aku tak berpikir bahwa kita akan baik-baik saja.”
                Aku terdiam, aku mengangkat kepalaku dan menatap mata coklat terang itu. Aku terdiam, mulutku kelu. Aku tak dapat menggerakan mulutku, bahkan tak ada kata yang aku pikirkan.
                “Mengapa?”, tanyaku pada akhirnya.
                “Tidak. Hanya saja satu bulan dari keseluruhan 4 tahun hubungan kita terasa hambar. Maaf.”
                Aku menunduk, menahan segala air mata yang ingin keluar. Tak berani aku menatap wajahnya. Aku mungkin malu. Namun sebagai wanita – yang sangat mencintai dia, aku tak boleh memperlihatkan air mataku, apalagi menunjukkan luka yang menganga di hati. Entah, aku tak mau.
                “Maaf, aku minta maaf, Schuyler.”
                Dan seketika itu, hujan turun. Aku merasakan langit ikut menangis bersamaku. Tanpa berpikir, aku berlari, meninggalkan tempat itu, dan berlari menembus rintik-rintik air hujan. Aku melihatnya, berlari menyusulku. Aku mencoba tersenyum di tengah hujan.
                “Schuyler, apa kau baik-baik saja?”, tanyanya. Aku mencoba tersenyum di tengah tetesan air yang semakin membasahi tubuhku.
“Tidak. Aku tidak apa-apa. Lihat?”, aku mencoba tersenyum lebih lebar. Aku melihatnya tersenyum lagi. Dan hanya itu, aku beranikan diri untuk menutupinya, tentu saja tangisku di tengah tetesan air hujan.
_End of Flashback_
                “Until you return, I’ll wait for you. Until you return, I’ll cry a bit. When the rain comes, no one will know. Whether it’s tears or raindrops.~”
                Aku bersenandung sembari mengelilingi pantai ini sekali lagi. Angin sepoi-sepoi kembali membuat rambutku berantakan. Dalam sendunya senda, aku berharap melupakan dia. Karena pada kenyataanya, ia telah bersama yang lain...

Chapter 4


POV – Hyosung

                Kuhempaskan tubuhku ke atas tempat tidur dan kututup mataku. Akhirnya, aku punya teman! Ada yang mengajakku bicara! Aku senang sekali. Nama perempuan itu Anjani. Dia juga blasteran , seperti aku. Ayahnya berasal dari Texas. Karena sangat tertarik dengan Indonesia, ayahnya merantau ke negara ini dan akhirnya menikah dengan istrinya saat ini, alias ibu Anja. Anja sangat friendly, meski agak cerewet “sedikit”. Dia juga selalu bersemangat dan selalu ceria. Seperti tidak punya masalah dalam hidupnya.
                Kalau dipikir-pikir, selain masalah AKU TIDAK PUNYA TEMAN, sekolah baruku lumayan menyenangkan juga. Sekolah ini memperbolehkan murid memakai baju bebas. Padahal di SMA swasta lain, semua murid harus memakai seragam yang “menurutku” culun. Mungkin karena aku berasal dari Seoul, fashion rate-ku lebih tinggi. Entahlah...
                SMAK Kriza juga punya seragam sih... dan kurasa seragamnya lumayan. Tapi tetap saja, 99% murid memilih untuk memakai baju bebas. Bicara soal seragam, di kelasku ada SATU anak yang memakai seragam. Kalau tidak salah namanya Valerie.
                Valerie sepertinya anak yang aktif. Larinya sangat cepat. Kemanapun aku pergi, hanya dalam hitungan menit aku akan segera melihatnya lagi. Dia seperti terbagi-bagi! Dia ada di seluruh sudut sekolah, dan sepertinya seluruh murid mengenalnya. Mulai dari kelas X sampai XII, semuanya menyapa Valerie dan dia balas menyapa mereka “lengkap dengan nama mereka!!!”. Ingatannya mengerikan.
                Kubuka tas sekolahku dan kukeluarkan buku suratku. Ya, buku yang berisi surat untuk “kakak”-ku, Yongguk-ssi. Di sampul depan, terpampang huruf-huruf yang kutulis.
                TO : CHOI YONG GUK () MESSAGE BOOK
                Yongguk adalah sahabatku yang terdekat. Saat pertama kali aku tahu aku akan meninggalkan Seoul, dialah orang pertama yang terlintas di kepalaku. “Kakak”-ku yang sangat kusayangi. Setiap hari sejak aku sampai di Indonesia, aku menulis surat untuknya di buku ini. Tetapi, aku tidak mau mengirimkannya. Aku takut terkesan cengeng. Aku akan tetap menulis “surat” ini setiap hari. Dam jika buku ini sudah penuh, aku baru akan mengirimnya ke Seoul lewat air mail.
                Kupandangi frame foto yang kuletakkan di atas mejaku. Di frame itu, terpasang fotoku bersama Yongguk, Ji Eun, dan Junhong, sahabat-sahabatku di Seoul. Kami selalu berhubungan lewat whatsapp dan skype, tapi tetap saja rasanya sepi. Apalagi, Yongguk jarang ikut karena dia sedang fokus untuk diterima di sebuah entertainment.
                Yongguk-ssi, am I able to have best friends here???...

Chapter 3


POV : Anja

                “Hey, Boss! Wanna go grab some lunch? Gue laper and butuh refreshing," ujarku sambil menarik tangan Jamie, alias Si Boss, setelah keluar dari kelas.
                “Nek...”               
                “Katakan ‘Nek’ sekali lagi, lu yang traktir!” aku terbahak sambil menariknya melewati beberapa orang yang sempat menyapa kami.
                Tiba-tiba aku menabrak seseorang. Oops.       
                “Sorry..." aku melihat name tag perempuan berkemeja oranye yang kutabrak itu. “Hyosung! New girl!”      
                Ia terdiam saja. Aku menggamit tangan Jamie sambil membereskan buku-buku yang terjatuh. Lorong terasa sunyi dan jalan Hyosung tampak sepi tanpa gangguan.               
                “Hyosung, will somebody pick you up at school? Let’s grab some lunch together. Jamie yang traktir!” aku menatapnya sambil tersenyum, menangkupkan kedia telapak tanganku seperti memohon, masih menggamit tangan Jamie yang melihat ke arah lain.   
                “Ya?”                
                “Nek!” Jamie mengerang.            
                “Tuh kan, dua kali bilang ‘Nek’! Traktir!” aku tertawa.                
                Tiba-tiba Hyosung berkata, “Aku dijemput...”                
                “Yaah, bisa minta dijemput 30 menit lagi nggak? Di Central Park, please?” wajahku memelas. “Oiya, namaku Anjani, tapi kamu boleh memanggilku Anya. Anja itu ejaan lama. Ini Jamie.” Aku menunjuk Jamie.                
                Ia menatapku, lalu mengetik sesuatu di iPhone-nya. “Oke, aku ikut.”  
                “Hore! Sekarang kita makan dimana, James?”              
                “Bon-Chon?” Hyosung mengusulkan.
                “Boleh! To Jamie’s car!” aku memegang tangan Hyosung dan mengiringnya menyusuri lorong.               
                Memasuki mobil, Hyosung bertanya, “Kalian...?” sambil menunjuk ke arah kami.
                “Oh, nggak!” aku menggelengkan kepalaku. “Kami cuma teman dari kecil, hahaha...”              
                “Oh." Hyosung duduk di jok belakang sementara kami di depan.       
                “Hyosung, jangan canggung, memang Anja ini agak... ya, begitulah...," Jamie angkat suara.          I’m a Texan! Ya, papaku orang Texas. Aku juga pernah sepertimu. Tenang saja.”
                Hyosung mengangguk pelan.

Chapter 2



Valerie’s POV

                KRINGG!!!
                Akhirnya! Tinggal 2 jam pelajaran lagi dan aku bebas!
                Kelasku mulai terisi, mulai dari anak-anak ‘gaul’ yang biasa nongkrong di kantin sampai anak-anak super-kutubuku yang  memilih perpustakaan sebagai pelepas penat di kelas. Namun aku bukanlah bagian dari  mereka – atau setidaknya tidak di sekolah.
                Bu Tanti masuk dengan bunyi wedgesnya yang khas, menghentikan pasar dadakan yang baru pindah ke kelasku. Pelajaran pun dimulai dengan muka lelah hampir seluruh siswa kelas XI IPA 4 ini. Hampir seluruh karena Thalita, juara 1 kelasku ini sangat antusias menanggapi pelajaran tentang organ-organ tubuh ini.
                Kubiarkan pikiranku kembali melayang ke anak baru itu. Hyosung... aneh! Memang sih, untuk orang Korea nama itu tidak aneh, tapi tetap saja lidahku tak enak memanggilnya. Cewek jangkung itu berambut pendek sebahu, dengan bagian depannya sedikit lebih panjang. Sangat berbeda dengan seleraku, aku lebih menyukai cewek berambut panjang, lurus, dan hitam, namun menurutku ia cantik. Entah kenapa, aku seperti mendapat kesan delicate darinya.
                Kalau kuperhatikan, sepertinya analisisku kali ini salah. Padahal, saat perkenalan dirinya tadi pagi, kesannya ceria, tapi sekarang... dia jadi seperti diam gitu. Rasa-rasanya, sepanjang hari ia diam saja.
***
                KRINGG!!!
                Pulang!!! Horeee!!
                Secepat kilat kubereskan buku-buku serta alat tulisku. Kugapai tasku dan tepat sebelum aku melangkah, Claudia menghampiriku.
                “Hei, Val! Bisa temenin gue ke toko buku ga? Ada buku yang pingin gue cari.”
                “Ehmmm... gue ga bisa, Di. Gue... ada janji...”, jawabku dengan ekspresi bersalah.
                Mendengar hal itu, muka Claudia langsung tertekuk.
                “Lusa ya?”
                Aku mengangguk.
                “Janji lohh.”
                “Janji. Janji jari kelingking!”, kukaitkan kelingkingku ke kelingkingnya lalu melesat pergi.

Chapter 1

POV – Hyosung

 “Eh! Lo udah coba ngobrol sama murid baru itu belom?”
 “Oh... Yang itu, kan?”, tanya orang itu sambil menunjukku, “Dia cantik banget gila! Blaster Korea, sih... Nggak usah ditanya.”
Please deh, ya. Ngomongin orang tapi suaranya kedengeran sampe ujung kelas. Bahkan kedengeran sama objek pembicaraanya! Mereka mikir gak, sih?
Baru 3 hari aku pindah ke negara ini, Indonesia. Sebelumnya aku tinggal di Seoul, Korea Selatan. Ayahku dipindah-tugaskan ke negara ini, entah untuk berapa lama. Awalnya, aku menyukai lingkunagn baruku ini. Tapi, setelah aku mulai masuk sekolah hari ini, perasaanku langsung berubah.
Aku ingin punya banyak teman. Sungguh! Karena itu sejak tadi aku berusaha mencari teman. Tapi, saat aku berjalan, semuanya menyingkir membuat jalan untukku. Saat aku berusaha mendekat, mereka kabur dan bersembunyi di tempat yang masih memungkinkan bagi mereka untuk melihatku. Arghh!!! Aku benci sekoalah ini!
Waktu berjalan sangat lambat bagiku. Sekarang baru jam istirahat kedua. Aku ingin cepat pulang. Aku ingin menghindar dari tatapan-tatapan yang menusuk dari murid-murid disini. Sejak tado aku hanya duduk diam, berharap ada yang menghampiriku dan mengajakku bicara. Tapi ternyata , nihil. Bahkan bukannya mengajakku bicara, mereka malah membicarakanku.
KRINGG!!!
Bel selesai istirahat berbunyi. Setelah ini pelajaran Biologi. Aku sudah membcaca buku cetaknya dan ternyata pelajaranku di Seoul sudah jauh lebih dari itu. Aku bisa berbicara dalam bahasa Indonesia karena ibuku adalah blasteran Indo-Amerika. Dulu ia tinggal lama di negara ini. Ayahku orang Korea. Mereka bertemu saat ibu sedang mengikuti pertukaran pelajar di Seoul.
Guru Biologiku berjalan memasuki kelas. Kalau tidak salah, namanya Ibu Tanti. Ia tergolong pendek, dengan make-up tebal dan wedges hitam 10 cm. Wajahnya terlihat kejam. Singkat kata, aku tidak suka orang ini. Aku sangat menyukai  wali kelasku, Ibu Ayu, katanya, dalam bahasa Jawa, Ayu itu artinya cantik. Ya, dia memang cantik. Dengan make-up tipis serta senyum tulus yang menghiasi wajahnya, aku yakin banyak laki-laki yang terpikat padanya.
Di tengah kebosananku, aku teringat sesuatu. Ya, benda itu! Aku mengeluarkan sebuah buku dari tas-ku dan mulai menulis...

A.N. from AZ ;)

     Hey all! It's our new blog and we're making a story with basically 3 POVs (Point of View). My name is AZ and I have written a few stories up to now. We'll really appreiciate it if you guys leave us some comments or critics ;) And sorry if we have some grammatical errors or any uninteresting chapters (I hope we won't ;)) Oh! Also check out N.Z and my other blog in Zehn Vier thank you *bow down* :D


     Oopss.. gue lupa kalo ini blog Indonesia *lol* okay! Mari kita ulang perkenalannya hehe. Hai semua! Gue AZ, well tentunya AZ itu nama pena gue. Jadi... blog ini tuh bermula dari keisengan kita bertiga, Yumi Yuli, Nathania Chen, and me, Angela Zaolta yang bosen di kelas hehe. Jadi kita kan nulis noh bertiga, dan karena kita mau berkontribusi (caila bahasanyaaa... kontribusi!) di internet, kita mutusin buat nampilin ini semua di internet. Sebenernya ada 1 pengarang lagi di dalam cerita ini, tapi dia cuma ikutan beberapa chapter nantinya :( 
     Well, cerita ini akan lebih banyak terdiri atas 3 sudut pandang. Masing-masing dari kita megang 1 karakter utama, kalo gue sih Valerie. Nah yang lainnya kalian bisa baca sendiri deh! 
     Haha, kita, terutama gue bakal seneng.... banget (pake banget noh) kalo kalian mau ninggalin komentar, kritik, saran, ataupun sekadar kesan soal cerita kita. Maaf juga kalo disini ada beberapa grammar yang salah (ada inggrisnya juga :D) ataupun cerita yang mungkin nantinya ada yang kurang menarik atau apapun itu. Gue pasti berterimakasih banget kalo kalian baca sampe akhir ;) 
     Numpang promosi bentar, gue sama Nathania Chen juga ada buat cerita di blog lainnya. Tapi genre cerita yang ini tuh fantasi, so... kalo berminat monggo mengunjungi Zehn Vier :D



Thanks a lot,  


Angela Zaolta