Hello everyone, annyeonghaseyo yeoreobun :) mannaseo bangabda! ^^
Well, gak ngeselin emang tiba-tiba Schuyler ilang gatau kemana (padahal apa yang ingin saya raih belum sempet saya ketik -_-) tapi begitulah. tapi saya sudah kembali - akhirnya, haha.
perkenalkan, je ireumeun altariaa ibnida (nama saya altariaa). bergabung dalam Lingering Tale ini dengan tokoh utama Schuyler dan dilanjutkan (mirip upacara ... whatever lah -_-) dengan tokoh-tokoh seperti Luhan, Daniel, dan sebagaimacamnya. tunggu aja yaa :) gamsahabnida yeoreobun :)
ps : tolong kasih komentar yang membangun ya buat cerita kami semua. komen kalian sangat membantu dan bermanfaat loh buat kita mengembangkan ide-ide kita (dan menjatuhkan satu sama lain ._.)
Tuesday, April 23, 2013
Monday, April 8, 2013
Chapter 24
Valerie’s POV
Tiba-tiba terdengar suara teriakan Jamie, “Hyosung!”
Hyosung? Ada apa dengan Hyosung? Terdengar suara
pintu yang terbuka lalu dibanting. Akupun berlari keluar, mengabaikan larangan
Anja. Rasa khawatirku lebih besar.
“Hyosung kenapa, Jam!?”, teriakku.
“Lu disini!?”, balasnya kaget. Matanya terbelalak.
“Hyosung kenapa???”, desakku lagi, mengabaikan
keterkejutannya.
“Ikut gua.”
***
Lambang UGD tertulis besar-besar disana. Aku duduk
termenung. Kakiku tak dapat berhenti bergetar, menandakan besarnya rasa
khawatirku. Hyosung... apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu tiba-tiba pingsan? Ada
apa denganmu, Jamie, dan Anja?
‘Nyuut.” Kepalaku terasa sedikit sakit. Rasanya ada
yang menekannya.
“So that’s
Val’s mom?”
“Yeah...”
Josh!? Itu kan suara Josh!? Aku menoleh cepat ke
arah suara tersebut. Disanalah kulihat Josh dan Schuyler. Berdiri
berhadap-hadapan di depan kasir.
‘Nyuuut.’ Rasa itu muncul lagi, namun aku
mengabaikannya. Kata pertama yang keluar dari mulutku tanpa kusadari adalah, “Josh?!”
Mereka berdua menoleh serempak ke arahku. Josh
dengan ekspresi kaget, Schuyler dengan ekspresi meremehkannya.
Aku melangkah cepat ke arah mereka, mengabaikan
rasa sakit yang sedari tadi menyerang kepalaku.
“Ngapain lu bayarin nyokap gue? Gue NGGAK BUTUH
belas kasihan lu!”
‘Nyuuuut.’
“Gua nggak... gua nggak bermaksud buat...”, Josh
terlihat panik. Dari sudut mataku, dapat kulihat Schuyler mengernyit. Ia pasti
tidak mengerti apa yang kami bicarakan. Biar saja! Aku tak perduli!
“Gue nggak butuh alasan! Gue bisa ngurus diri
gue sendiri, juga keluarga gue!”
‘Nyuuuuut.’
Kuraih setumpuk uang di tasku, gaji yang Tante
Lizzie berikan tadi siang. “Lu kira lu bisa beli gue!? Nggak! Lu salah besar,
Josh Cain!”, ku lemparkan amplop berisi uang gajiku tadi ke arah Josh. “Nih! Gue
balikkin! Gue nggak butuh rasa kasihan dari lu,” kutunjukkan telunjukku pada
Josh, lalu kepada Schuyler selagi berkata, “apalagi dari lu! Gue nggak sudi
ngemis-ngemis sama lu!”
‘Plakk!’
Satu detik... dua detik.. aku tak dapat
merasakan apapun. Rasanya seperti mati rasa, lalu aku mulai dapat merasakan
rasa panas menjalari pipi kiriku. Perlahan-lahan, semakin lama semakin sakit.
“Schuyler! What
the- Do you know what the hell you just did!?”, geram Josh.
“Why are
you defending her? She’s just... not worth it. She deserves it!”, katanya
santai, seperti baru saja membuang sampah pada tempatnya lalu ditegur.
‘Nyuuuuuut. Nyuut.’
Josh mendekatiku, “Are you alright?”. Dapat kurasakan tangannya menyentuh pelan pipi
kiriku.
“Let go of
me!”, kutepis tangannya dengan tangan kiriku.
“See?!”,
Schuyler kembali memprovokasi.
“It’s none
of your business.”, dari celah-celah mataku, kulihat Josh memelototi
Schuyler. Schuyler hanya acuh tak acuh menanggapinya.
‘Nyuuut. Nyuuuut. Nyuuuuut.’ Kepalaku mulai
terasa semakin sakit, semakin sakit dan akhirnya seperti mau pecah dan setelah
itu, semuanya menjadi gelap.
Chapter 23
POV – Yongguk
“If you
can’t explain, then you don’t have to!!!,” panggilan itu terputus. Layar laptopku
kembali hitam.
“Arghh!!!,” kulayangkan tinjuku ke dinding yang
ada di hadapanku. Sakit, tetapi tidak ada apa-apanya dibanding rasa sakit
hatiku. Hyosung membenciku. Hanya 2 kata itu saja sudah bisa menghancurkan
hidupku. Kenapa rencanaku jadi hancur begini?! Padahal aku berencana untuk
mengejutkannya pada hari ulang tahunnya. Sekarang, semuanya gagal.
“Yongguk-hyung,
wae? Did something happen?” Daehyun menepuk pundakku. Daehyun adalah trainee ST entertainment yang memiliki
jadwal latihan yang sama denganku. Karena itu, hubungan kami cukup dekat.
“My BFF,
Hyosung, is angry to me. What should I do?”
“Call her!
Apologise!, “ balas Daehyun singkat. Aku melakukan apa yang dikatakannya. Aku
tidak peduli jika pulsaku habis, yang penting kami berbaikan. Kutekan tombol
hijau dan menempelkan HP-ku ke telingaku.
“Sorry,
your number was blocked by the owner of this number. Pip!”
“Damn! She
blocked my number!,” ucapku pada Daehyun.
“Doesn’t
she has any friend that you can call?”
Tiba-tiba, wajah seseorang terlintas di
kepalaku. Jamie. Ya, Jamie. Aku akan menghubunginya sekarang! Aku akan menuntut
penjelasan darinya!
“Choi Yongguk! Get back to your training now!,” teriak Himchan, pelatihku, tepat
saat aku akan menekan nomor telepon Jamie. Argh! Aku akan langsung menghubunginya
setelah latihanku selesai!
-o-
“Hello? What’s
the matter Choi Yongguk?,” balas Jamie kasar. Akhirnya aku bisa
menghubunginya satu setengah jam setelah aku dimarahi oleh pelatih Himchan
tadi.
“You owe
me lots of explanations!,” jawabku. “You
and Hyosung are going out? What the hell has happened to you?! You love Anjani, don’t you? But why are
you going out with a girl you don’t even love?”
“This isn’t
the right time to talk about this. For me, it’s YOU who owe me explanations. What’ve
you said to Hyosung? You hurt her, you know?!”
“What do
you mean by saying that to me?”
“Hmph!,” kudengar Jamie tertawa mengejek. “What do you think is happening now, Choi
Yongguk? Hey, I’ll just say this once, so listen carefully. If you can’t take
care of Hyosung, I’ll definitely make her forget about you, FOREVER!”
Jamie memutuskan hubungan telepon kami. Beberapa
detik kemudian, Anja menghubungiku.
“Yongguk! You
finally answer my call!,” teriak Anja.
“Are you
okay? Your voice are shaking. Did something happen?”
“I’m okay.
But... but... it’s... Hyosung... she... she fainted and was rushed to the
hospital. Jamie is there now. I’m on my way.” Aku terpaku. Hyosung
dilarikan ke RS?!
Chapter 22
POV – Anja
Aku menenangkan diri.
***
“Farid, besok lu jemput gue dari sekolah ya?”
aku berbaring di kasurnya. Ia menatapku.
“Kamu sama Jamie, kalian berantem?” Farid sedang
mengetik tugasnya. Meski begitu, sesekali ia melirikku. Mataku mulai
berkaca-kaca. Farid yang awalnya melirikku kini sudah duduk di kasur, di sebelahku.
“Jamie pacaran-“ suaraku tercekat. Farid
mengelus pundakku canggung. “Kemarin-“ aku menceritakan segalanya. Farid
mendengarkan ceritaku sambil mengambilkan tisu. “Maap, gue lagi PMS, jadi
sensitif gini.” Farid tersenyum.
“Udah, kamu kujemput besok. Pulang jam berapa,
Ni? Aku samperin ke kelas.” Aku menangis memeluk Farid.
***
Sekarang, Valerie sudah berada di kamarku. Aku
memang diam disana setelah kembali dari kamar Farid. Rambutku masih berantakan.
Valerie mencoba menenangkanku. Tiba-tiba Jamie mengetuk pintu. Aku diam saja.
Valeriepun tak kuizinkan membuka. Biar. Aku butuh ketenangan. Tiba-tiba ada
telepon masuk dari HP Valerie. Valerie mengangkatnya. Ada sesuatu di wajahnya
yang mengatakan bahwa ia panik. Ia sempat berkali-kali berkata “Mama.” Lalu
keningnya mengernyit. Pada ujung telepon, ia bernapas lega. Aku menatapnya.
“Ada apa?” tanyaku. Jamie sepertinya sudah
menyerah. Tak ada lagi gedoran di pintu. Biar. Paling juga ke Farid.
“Nggak, mamaku,” Valerie menjelaskan. “Katanya
rumah sakit operasi mamaku lancar. Tapi tiba-tiba ada seseorang bayarin.”
“Bukannya bagus?” tanyaku. Aku mengernyit
sedikit. Aku tahu ibu Valerie sakit. Tetapi aku tak tahu apa penyakitnya.
“Masalahnya, yang bayarin itu mantanku.” Ia
menghela napas. Wajahnya kusut. Tentu, pekerjaan mengurasnya.
POV – Jamie
Sampai sekarang, aku masih belum mengerti
perempuan. Meski tinggal dengan Anja, aku masih kesulitan mengenalnya. Sekarang
ia mengacuhkanku, setelah Hyosung menyatakan “hubungan”nya denganku. Aku
berjalan ke kamar Farid dan mengetuk pintu. Terdengar balasan, “masuk”. Aku
membuka pintu. Seperti biasa, ia sedang bekerja.
“Kamu ada apa dengan Anjani? Tadi dia datang
kesini, cerita sampai nangis lho tentangmu.” Farid berbalik menatapku. Shoot. Dia bisa memarahiku karena membuat
“adik”nya menangis. “Kalian kalau mau berantem jangan kebangetan juga.” Suara
bass Farid membuatnya terdengar seperti kakak yang penuh wibawa dan bijak.
“Kamu “pacaran” sama Hyosung ‘kan? Supaya Anja jealous?” memang Farid pintar. Ia bisa menebak rencanaku.
“Kupikir itu jalan terbaik. Apa aku terlihat
seperti memaksanya untuk mencintaiku, Farid agha?”
“Tumben pakai ‘agha’,” Farid berdeham. “Bukan begitu, Jamie agha. Tahukah kamu, Anjani sebenarnya menyayangimu? Namun
sayangnya, Anjani belum belajar untuk mencintai. Anjani bercerita padaku
‘Farid, seharusnya gue bahagia karena Jamie akhirnya punya pacar ‘kan? Tapi
kenapa gue malah nangis kecewa? Apa karena dia udah janji, Farid? Farid, gue
bingung.’ Kamu membuat janji, Jamie agha. Kamu membuat janji untuk menyayanginya,
janji harus dibayar.” Kok rasanya jadi melankolis begini? Inikah “pembicaraan
pria” yang selalu Anja pertanyakan? Entah. Aku tidak seromantis itu.
“Nasihat Farid agha baik sekali,” jawabku. “Aku selalu berharap bisa seromantis
Farid agha.”
Farid tersenyum. “Pengalaman itu penting, Jamie agha.” Ia menepuk pundakku. “Kembalilah
dan jelaskan yang sebenarnya pada Anjani.”
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Dari Hyosung.
Bagus! Tepat saat aku ingin mengatakan untuk mengakhiri permainan ini. Saat kuangkat
hanya terdengar suara Hyosung yang tercekat, “Jamie-“
“Hyosung?!!” aku harus ke rumahnya. Sekarang.
Chapter 21
Valerie’s POV
“Val! Here’s your fee for these days.”, kata Tante Lizzie.
“Oh, thank you, Ma’am.”
Akhirnya aku mendapatkan gajiku untuk beberapa
hari ini. Berhubung uangnya sudah berlebih, aku memutuskan untuk tidak menginap
lagi. Kini... aku harus meninggalkan rumah ini.
Akupun berjalan pelan ke rumah. Tiba-tiba salah
satu lagu Taylor Swift ‘Speak Now’ mengalun, tanda ada telepon masuk. Anja? Oh
iya, Anja! Gimana ya keadaan dia sekarang?
“Anja? Nja, lu baik-baik aja kan?”
“Hiks...”
“Anja?? Lu di rumah kan? Gue kesana sekarang!”
***
Sesampainya di rumah Jamie dan Anja, aku
langsung bergegas masuk. Mobil Jamie tidak ada. Berarti dia belum pulang. Sedangkan
rumah itu tak terkunci. Hal itu menambahkan bukti betapa labilnya Anja saat
ini.
Dengan segera ku gembokkan pagar rumah serta
pintu depan rumah Anja. Kulangkahkan kakiku ke dalam lalu naik ke atas.
“Anja!”
Tak ada jawaban. Dimana Anja? Kubuka salah satu
pintu yang ada disana dengan jari telunjukku mendorongnya. Pintu itu melayang
terbuka dengan perlahan.
“Anja! Lu kenapa!?!?”
Anja tampak berantakan. Ia tampak kacau sekali. Rambutnya
berantakan dan mukanya pucat. Anja... apa yang telah terjadi??
***
“Nja, lo mesti dengerin gua!!”, teriak Jamie.
Ini adalah kesekian kalinya ia meneriakkan itu. Sedangkan
Anja hanya diam terpaku, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tubuhnya membelakangi
pintu kayu yang memisahkan kami dengan Jamie. Aku duduk di depannya dengan
tatapan yang aku sendiri tak bisa artikan.
“Anja!!”
Di tengah teriakan-teriakan itu, terdengar samar
lagu Speak Now lagi. Kugapai HP-ku yang tadi kujejalkan ke dalam tas begitu
saja. Unknown number.
“Ya, ini siapa ya?”, tanyaku dengan sedikit
keras, berusaha mengalahkan suara Jamie.
“Emm... ini dik Valerie?”
“Iya, dengan saya sendiri. Maaf, ini siapa ya?”,
dalam hati aku mencoba mengingat-ingat suara perempuan di seberang.
“Emm... ini Rumah Sakit Healthy Family,
sebenarnya... keadaan ibu Dik Valerie...”
“Mama!? Mama kenapa, Sus?!?! Kenapa?!”
Teriakan Jamie dan isakkan pelan Anja terhenti
begitu mendengar seruanku. Atau mungkin saja itu hanya perasaanku saja karena
entah kenapa aku merasa saat itu heningggg... sekali.
“Ibu adik...”
Chapter 15
Anja's POV
Aku tersenyum. Mencari sebuah notes sambil membiarkan laptopku menyala. Di layarnya terlihat Yongguk sedang duduk menungguku. Senyumnya lebar.
"When will you tell me about Jamie?" Yongguk bertanya.
"Right after... THIS." Aku memperlihatkan sebuah notes di layar. Yongguk terkejut.
"Well, that's the past." Yongguk memalingkan wajahnya.
"How can I change this?"
*
Aku masih membayangkan kejadian itu.
"Oh no you can't."
"Why?"
"Because I still have a dad. You won't kill him, right?"
Aku masih sering terbahak karenanya. Karena gugup, aku salah bicara. Lalu segalanya berubah. Aku agak canggung menemui Jamie. Di rumah, kami juga jarang melakukan "ritual" sikat gigi bersama. Tapi kasihan juga. Aku harus meluruskan hal ini.
*
Yongguk masih terdiam di monitor.
"Jae, what's wrong with you and Jamie?"
"He asked me out after being OVER-protective because of THIS." Kembali kulayangkan notes itu.
"But I did nothing with you."
"We are Skype-ing."
"But I care about you both."
Tiba-tiba ada suara pintu terbanting. "Somebody's here. Call you back." Aku beranjak dari tempat dudukku, mencari tersangka yang membuka pintu kamarku sembarangan. Aku membuka pintu dan menuruni tangga.
"Okay, who the hell--" kalimatku terhenti melihat Hyosung dan Jamie.
Hyosung tampak menangis di rangkulan Jamie yang menahannya. Kepalanya bersandar di bahu Jamie. Jamie memegangi pinggangnya.
"WHAT THE HELL! You--" aku baru saja berniat untuk menyumpahinya ketika Jamie menghentikanku.
"Why do you Skype Yongguk?! That's not deal! Look at Hyosung! She's crying!"
"You're the crap! You gave me those words, and then--" kalimatku terhenti. Setitik air mata membasahi sudut mataku. Aku membanting pintu rumahku. " GET OFF MY DAMN HOUSE!"
Jamie menggedor-gedor pintu rumahku. "HEY! THIS IS ALL JUST A MISTAKE!"
Tetapi aku tahu, itulah akhir. Aku mengunci pintu lalu berlari ke tangga, kembali ke kamarku. Dari jendela kamarku aku melihat mobil Jamie berlalu dari pandangan.
Aku tersenyum. Mencari sebuah notes sambil membiarkan laptopku menyala. Di layarnya terlihat Yongguk sedang duduk menungguku. Senyumnya lebar.
"When will you tell me about Jamie?" Yongguk bertanya.
"Right after... THIS." Aku memperlihatkan sebuah notes di layar. Yongguk terkejut.
"Well, that's the past." Yongguk memalingkan wajahnya.
"How can I change this?"
*
Aku masih membayangkan kejadian itu.
"Oh no you can't."
"Why?"
"Because I still have a dad. You won't kill him, right?"
Aku masih sering terbahak karenanya. Karena gugup, aku salah bicara. Lalu segalanya berubah. Aku agak canggung menemui Jamie. Di rumah, kami juga jarang melakukan "ritual" sikat gigi bersama. Tapi kasihan juga. Aku harus meluruskan hal ini.
*
Yongguk masih terdiam di monitor.
"Jae, what's wrong with you and Jamie?"
"He asked me out after being OVER-protective because of THIS." Kembali kulayangkan notes itu.
"But I did nothing with you."
"We are Skype-ing."
"But I care about you both."
Tiba-tiba ada suara pintu terbanting. "Somebody's here. Call you back." Aku beranjak dari tempat dudukku, mencari tersangka yang membuka pintu kamarku sembarangan. Aku membuka pintu dan menuruni tangga.
"Okay, who the hell--" kalimatku terhenti melihat Hyosung dan Jamie.
Hyosung tampak menangis di rangkulan Jamie yang menahannya. Kepalanya bersandar di bahu Jamie. Jamie memegangi pinggangnya.
"WHAT THE HELL! You--" aku baru saja berniat untuk menyumpahinya ketika Jamie menghentikanku.
"Why do you Skype Yongguk?! That's not deal! Look at Hyosung! She's crying!"
"You're the crap! You gave me those words, and then--" kalimatku terhenti. Setitik air mata membasahi sudut mataku. Aku membanting pintu rumahku. " GET OFF MY DAMN HOUSE!"
Jamie menggedor-gedor pintu rumahku. "HEY! THIS IS ALL JUST A MISTAKE!"
Tetapi aku tahu, itulah akhir. Aku mengunci pintu lalu berlari ke tangga, kembali ke kamarku. Dari jendela kamarku aku melihat mobil Jamie berlalu dari pandangan.
Chapter 20
POV-Hyosung
"Hyosung, siapa yang mengantarmu tadi? Ayo ajak dia masuk!"
"Anieyo, umma. Itu cuma temanku, kok. Namanya Jamie. Kebetulan jalan pulangnya hari ini sama."
"Ooh... Okay. By the way, I've prepared your fave banana milkshake." Ibuku menunjuk kulkas yang ada di dapur. Aku tersenyum, tapi saat ini aku sedang tidak tertarik untuk meminum milkshake itu.
"I'll take it later."
Aku berlari menaiki tangga dan membuka pintu kamarku. Dengan segera, kuhempaskan tubuhku ke atas tempat tidur, mengingat kembali apa yang terjadi siang tadi. Mission 1~accomplished!!!
Jamie berhasil kutipu, demikian juga Anja. Anja Haris merasakan sakit hatiku! Dia sudah merebut Yongguk, jadi aku akan merebut Jamie darinya!
HP-ku bergetar beberapa menit kemudian. Kuambil HP-ku dan kulihat layarnya. Yongguk?! How can it be?!
Hyosung... Can we talk through Skype? NOW
Ada apa? Wae? What's the matter? Kunyalakan laptopku dan kubuka aplikasi video call itu. Beberapa menit kemudian, datanglah panggilan dari Yongguk. Kuterima panggilan iu dan dengan segera wajah Yongguk muncul di layar. Dia sedang ada di sebuah ruang latihan. Don't say...
"You've been a trainee in ST Ent, and you haven't told me?" Tanyaku.
Dia menggaruk kepalanya. "Anieyo... Hyosung. It's not the problem now. I want to talk about your friend, Anjani."
"What?! It's been a while since you haven't contact me and suddenly you contact me just because Anja?! What the hell!!! Neo jasigi!!!"
"Whoa... Keep calm, Hyosung. I heard that you've just had a new BF, Jamie?"
"It's none of your business! Even Ji Eun and Junhong haven't contact me at all! Is it because of you?! Ya, Choi Yongguk! Wae? Wae?!" Amarahku memuncak.
"You don't understand! It's just..."
"If you can't explain, then you don need to!!!" Kuputuskan sambungan video call itu dan kumatikan laptopku. Aku juga langsung menghapus no. telpnya dari HP-ku serta mem-block-nya. Tangisanku pecah. Aku sudah tidak tahan lagi! Cukup! CUKUP!!!
Kutukan kembali tombol demi tombol di HP-ku dan kuhubungi Jamie. Sudahlah! Tak ada gunanya balas dendam. Toh hal itu tidak dapat memperbaiki hubunganku dengan Yongguk.
"Halo? Hyosung? Ada apa?" Ucap Jamie di ujung telepon.
Napasku tersengal. Kenapa... Apa yang terjadi? Pandanganku mulai kabur. Tubuhku lemas tak bertenaga.
"Jamie..."
Itulah kata terakhir yang kuucapkan sebelum semuanya menjadi gelap.
"Hyosung, siapa yang mengantarmu tadi? Ayo ajak dia masuk!"
"Anieyo, umma. Itu cuma temanku, kok. Namanya Jamie. Kebetulan jalan pulangnya hari ini sama."
"Ooh... Okay. By the way, I've prepared your fave banana milkshake." Ibuku menunjuk kulkas yang ada di dapur. Aku tersenyum, tapi saat ini aku sedang tidak tertarik untuk meminum milkshake itu.
"I'll take it later."
Aku berlari menaiki tangga dan membuka pintu kamarku. Dengan segera, kuhempaskan tubuhku ke atas tempat tidur, mengingat kembali apa yang terjadi siang tadi. Mission 1~accomplished!!!
Jamie berhasil kutipu, demikian juga Anja. Anja Haris merasakan sakit hatiku! Dia sudah merebut Yongguk, jadi aku akan merebut Jamie darinya!
HP-ku bergetar beberapa menit kemudian. Kuambil HP-ku dan kulihat layarnya. Yongguk?! How can it be?!
Hyosung... Can we talk through Skype? NOW
Ada apa? Wae? What's the matter? Kunyalakan laptopku dan kubuka aplikasi video call itu. Beberapa menit kemudian, datanglah panggilan dari Yongguk. Kuterima panggilan iu dan dengan segera wajah Yongguk muncul di layar. Dia sedang ada di sebuah ruang latihan. Don't say...
"You've been a trainee in ST Ent, and you haven't told me?" Tanyaku.
Dia menggaruk kepalanya. "Anieyo... Hyosung. It's not the problem now. I want to talk about your friend, Anjani."
"What?! It's been a while since you haven't contact me and suddenly you contact me just because Anja?! What the hell!!! Neo jasigi!!!"
"Whoa... Keep calm, Hyosung. I heard that you've just had a new BF, Jamie?"
"It's none of your business! Even Ji Eun and Junhong haven't contact me at all! Is it because of you?! Ya, Choi Yongguk! Wae? Wae?!" Amarahku memuncak.
"You don't understand! It's just..."
"If you can't explain, then you don need to!!!" Kuputuskan sambungan video call itu dan kumatikan laptopku. Aku juga langsung menghapus no. telpnya dari HP-ku serta mem-block-nya. Tangisanku pecah. Aku sudah tidak tahan lagi! Cukup! CUKUP!!!
Kutukan kembali tombol demi tombol di HP-ku dan kuhubungi Jamie. Sudahlah! Tak ada gunanya balas dendam. Toh hal itu tidak dapat memperbaiki hubunganku dengan Yongguk.
"Halo? Hyosung? Ada apa?" Ucap Jamie di ujung telepon.
Napasku tersengal. Kenapa... Apa yang terjadi? Pandanganku mulai kabur. Tubuhku lemas tak bertenaga.
"Jamie..."
Itulah kata terakhir yang kuucapkan sebelum semuanya menjadi gelap.
Chapter 19
POV-Anja
Aku, Yongguk dan Jamie pernah membuat sebuah janji bodoh di masa kecil kami. Janji bodoh itu kami tuliskan di sebuah notes kecil bersampul kertas velvet ungu.
Isinya berinti bahwa, jika seseorang diantara Jamie/Yongguk tidak bisa menemaniku ketika aku harus pergi, maka ia tidak boleh bersamaku selamanya.
Yongguk-lah yang tidak bisa menemaniku pergi.
Dan kini aku ingin menghapus janji itu.
*
Aku melihat Hyosung menyatakan hubungannya dengan Jamie.
He is a sick bastard. Bodohnya, aku merasa, entah kenapa, sakit di dadaku ini karenanya. Setiap kali mengingat Hyosung dan Jamie, ingin rasanya aku menangis.
Kudatangi Valerie dengan mata sembap sehabis menangis di kamar mandi seusai sekolah.
"Nia! Lu kenapa?"
"Hyosung, Val. Dia pacaran sama Jamie, gue gak ngerti kenapa," jawabku lirih.
"Ya ampun! Ya udah deh, gue anter lu pulang!" Valerie memapahku keluar mencari taksi.
"Val," sahutku serak, "I know you got work."
Setelah puas membicarakan apa yang terjadi di taksi, Valerie menurunkanku di depan rumah. Aku memintanya untuk tidak mampir dahulu ke rumahku karena aku tahu ia harus bekerja. Setibaku di kamar, aku langsung menelepon Yongguk.
"What's up?" Angkatnya di telepon.
"Can you open Skype now?"
"I'm on rehearsal. But I think I can work on it. Five minutes, okay?"
Lima menit kemudian, Yongguk menemukanku di Skype dengan mata berkaca-kaca.
"What's wrong with you?"
"Somebody dated Jamie. And we both know who that person is."
"No, I don't. I don't live there."
"Really? Then what if that person is, Hyosung?"
Mata Yongguk membelalak.
"See? I know you know her."
"No way, no way. How..." Yongguk tercekat. Aku menceritakan apa yang terjadi dan ia mendengarkan.
"I'll talk to her." Kata Yongguk pada akhirnya. "Are you okay now? I must be back at rehearsal."
"I dont know." Aku menangkupkan tanganku pada wajah, menahan air mata.
"Just-don't cry, okay? I'll call you back real quick. Everything's gonna be alright."
Lalu sambungan terputus. Aku mencuci wajahku, lalu berjalan keluar kamarku menuju kamar Farid.
Aku, Yongguk dan Jamie pernah membuat sebuah janji bodoh di masa kecil kami. Janji bodoh itu kami tuliskan di sebuah notes kecil bersampul kertas velvet ungu.
Isinya berinti bahwa, jika seseorang diantara Jamie/Yongguk tidak bisa menemaniku ketika aku harus pergi, maka ia tidak boleh bersamaku selamanya.
Yongguk-lah yang tidak bisa menemaniku pergi.
Dan kini aku ingin menghapus janji itu.
*
Aku melihat Hyosung menyatakan hubungannya dengan Jamie.
He is a sick bastard. Bodohnya, aku merasa, entah kenapa, sakit di dadaku ini karenanya. Setiap kali mengingat Hyosung dan Jamie, ingin rasanya aku menangis.
Kudatangi Valerie dengan mata sembap sehabis menangis di kamar mandi seusai sekolah.
"Nia! Lu kenapa?"
"Hyosung, Val. Dia pacaran sama Jamie, gue gak ngerti kenapa," jawabku lirih.
"Ya ampun! Ya udah deh, gue anter lu pulang!" Valerie memapahku keluar mencari taksi.
"Val," sahutku serak, "I know you got work."
Setelah puas membicarakan apa yang terjadi di taksi, Valerie menurunkanku di depan rumah. Aku memintanya untuk tidak mampir dahulu ke rumahku karena aku tahu ia harus bekerja. Setibaku di kamar, aku langsung menelepon Yongguk.
"What's up?" Angkatnya di telepon.
"Can you open Skype now?"
"I'm on rehearsal. But I think I can work on it. Five minutes, okay?"
Lima menit kemudian, Yongguk menemukanku di Skype dengan mata berkaca-kaca.
"What's wrong with you?"
"Somebody dated Jamie. And we both know who that person is."
"No, I don't. I don't live there."
"Really? Then what if that person is, Hyosung?"
Mata Yongguk membelalak.
"See? I know you know her."
"No way, no way. How..." Yongguk tercekat. Aku menceritakan apa yang terjadi dan ia mendengarkan.
"I'll talk to her." Kata Yongguk pada akhirnya. "Are you okay now? I must be back at rehearsal."
"I dont know." Aku menangkupkan tanganku pada wajah, menahan air mata.
"Just-don't cry, okay? I'll call you back real quick. Everything's gonna be alright."
Lalu sambungan terputus. Aku mencuci wajahku, lalu berjalan keluar kamarku menuju kamar Farid.
Chapter 18
Valerie's POV
*flashback*
"Who is he?"
Aku memang sangat berharap Schuyler akan ngomong sama aku, tapi bukan tentang ini.
"Which... he?"
"The one who drives you here."
"You mean... Josh?"
"Who is he?"
Aku ragu untuk menceritakannya. Tapi setelah kupikir-pikir, tak ada salahnya kuceritakan.
"My ex. But he betrays me."
"Really? Are you sure?"
"Yeah. Why?"
"Cause it looks like he still loves you."
**
Entah kenapa obrolan pertamaku dengan Schuyler masih mengusikku. Aku tahu kalau Josh sudah bukan punyaku lagi- sekarang maupun selamanya-tapi entah kenapa perkataan Schuyler itu seperti memberikan secercah harapan, tepat sebelum aku melupakan Josh sepenuhnya.
Loh itu bukannya Anja?
"Nja!" Sapaku.
Tidak ada jawaban. Loh? Anja nangis? ANJA NANGIS?!?! Kuhampiri Anja dengan tergesa-gesa.
"Nja! Lu kenapa?"
*Josh's POV*
SMAK Kriza. Disinilah aku berada sekarang. Sekolah empat Eri sekolah, sekolah dimana aku akan bersekolah kalau saja tak ada kejadian ITU. Ya, kejadian itu... Kejadian yang mengubah segalanya. Kini, di hari terakhirkulah di Indonesia, aku berharap bisa melihatnya, untuk sebentar saja.
"KRINGGG!"
Bel tanda pulang sekolah berdering. Anak-anak berseragam putih abu-abu berhamburan keluar. Tak lama, aku dapat menemukan Eri yang sedang menembus kerumunan.
"Eri..." Suaraku tercekat pada kata ri.
Loh? Itu siapa? Yang bersama Eri itu. Kenapa siswi itu menangis?
Untuk sesaat aku terdiam melihat itu. Melihat Eri menarik pelan siswi itu ke sebuah tadi yang ada di depan sekolah. Aku baru akan mengejar mereka saat sebuah tangan menahanku.
"You have an appointment with me, ain't you?" Kata Schuyler, cewek yang kemarin kutemui saat mengantar Eri...
*flashback*
"Who is he?"
Aku memang sangat berharap Schuyler akan ngomong sama aku, tapi bukan tentang ini.
"Which... he?"
"The one who drives you here."
"You mean... Josh?"
"Who is he?"
Aku ragu untuk menceritakannya. Tapi setelah kupikir-pikir, tak ada salahnya kuceritakan.
"My ex. But he betrays me."
"Really? Are you sure?"
"Yeah. Why?"
"Cause it looks like he still loves you."
**
Entah kenapa obrolan pertamaku dengan Schuyler masih mengusikku. Aku tahu kalau Josh sudah bukan punyaku lagi- sekarang maupun selamanya-tapi entah kenapa perkataan Schuyler itu seperti memberikan secercah harapan, tepat sebelum aku melupakan Josh sepenuhnya.
Loh itu bukannya Anja?
"Nja!" Sapaku.
Tidak ada jawaban. Loh? Anja nangis? ANJA NANGIS?!?! Kuhampiri Anja dengan tergesa-gesa.
"Nja! Lu kenapa?"
*Josh's POV*
SMAK Kriza. Disinilah aku berada sekarang. Sekolah empat Eri sekolah, sekolah dimana aku akan bersekolah kalau saja tak ada kejadian ITU. Ya, kejadian itu... Kejadian yang mengubah segalanya. Kini, di hari terakhirkulah di Indonesia, aku berharap bisa melihatnya, untuk sebentar saja.
"KRINGGG!"
Bel tanda pulang sekolah berdering. Anak-anak berseragam putih abu-abu berhamburan keluar. Tak lama, aku dapat menemukan Eri yang sedang menembus kerumunan.
"Eri..." Suaraku tercekat pada kata ri.
Loh? Itu siapa? Yang bersama Eri itu. Kenapa siswi itu menangis?
Untuk sesaat aku terdiam melihat itu. Melihat Eri menarik pelan siswi itu ke sebuah tadi yang ada di depan sekolah. Aku baru akan mengejar mereka saat sebuah tangan menahanku.
"You have an appointment with me, ain't you?" Kata Schuyler, cewek yang kemarin kutemui saat mengantar Eri...
Chapter 17
POV-Hyosung
"Yongguk... Wae? Wae? Am I not important to you anymore?"
Entah sudah berapa lama aku menangis. Aku terus memandangi selembar foto. Ya, fotoku dan Yongguk yang diambil di bandara pada hari aku meninggalkan Seoul denga kamera HP-ku. Berkali-kali terlintas di kepalaku untuk melakukan hal itu. Aku... tidak sanggup. Terlalu banyak kenangan yag tersimpan di dalam foto itu.
Tetes demi tetes air mataku jatuh membasahi halaman-halaman buku "Surat untuk Yongguk"-ku. Aku mencurahkan seluruh perasaanku di buku itu. Mulai dari rasa sedih, kesal, marah dan kekecewaanku atas apa yang dia lakukan. Apakah aku sudah tidak penting untuknya? Siapa aku di matanya?
Berbagai pertanyaan berkecamuk di pikiranku. Kenapa Yongguk tiba-tiba tidak bisa dihubungi? Bagaimana Anja bisa mengenal Yongguk? Kenapa Ji Eunike maupun Junhong tidak memberi kabar? Apa hubungan Anja dan Yongguk? Dan yang paling menyakiti hatiku, 'apa aku sudah tidak berarti lagi untuknya?'
Anja... Semua gara-gara Anja... Gara-gara Anja semuanya jadi begini. Yongguk juga berubah karena Anja... Anja... LO LIAT PEMBALASAN GUE!!!
*
"Jamie... Please, tolongin aku dong," aku menyatukan kedua telapak tanganku dan memohon.
"Bantuin apa?" Tanya Jamie tanpa minat. Sejak ditolak Anja, dia jadi tidak se-ceria dulu.
"Jangan bilang-bilang Anja, ya. Aku kemarin ngobrol sama Anja, katanya dia sebenernya suka sama kamu, cuman..." Aku sengaja membuat Jamie penasaran. Dan benar saja, dia terpancing oleh kebohonganku.
"Cuman apa?" Matanya berbinar penuh semangat. Kena kau! Hahaha...
"Cuman katanya dia yakin kamu nggak bakal direbut cewek lain. Makanya dia nggak mau janjian sama kamu," dustaku. "Makanya... Aku mau bantuin kalian dengan cara..."
"Apa? Apa? Cara apa? Aku bakal lakuin apa aja!"
"Aku mau bikin dia envy... Kita pura-pura jadian."
Awalnya Jamie tampak ragu. Dia melipat kedua tangannya di depan dada dan memandang ke langit-langit. "Hngg... Kamu yakin cara ini akan berhasil?"
"100%!" Aku mengangguk. "Cewek itu paling nggak tahan kalo cowok yang dia suka direbut cewek lain."
"Oke, deh, kalo gitu."
Kami saling mengaitkan jari kelingking kami. Aku melirik ke kanan diam-diam. Anja baru saja datang. Dia tampak kaget melihat aku berduaan dengan Jamie. Aku memeluk Jamie dengan erat, berpura-pura tidak tahu kalau Anja ada di sana. Aku sengaja memanggil Anja ke sini dengan alasan ingin menceritakan sesuatu.
"Oh! Anja!" Aku menoleh dam memandang wajah Anja. Dia terlihat shock. YES!!! "I'm so happy!!! Akhirnya aku sama Jamie jadian!"
"Yongguk... Wae? Wae? Am I not important to you anymore?"
Entah sudah berapa lama aku menangis. Aku terus memandangi selembar foto. Ya, fotoku dan Yongguk yang diambil di bandara pada hari aku meninggalkan Seoul denga kamera HP-ku. Berkali-kali terlintas di kepalaku untuk melakukan hal itu. Aku... tidak sanggup. Terlalu banyak kenangan yag tersimpan di dalam foto itu.
Tetes demi tetes air mataku jatuh membasahi halaman-halaman buku "Surat untuk Yongguk"-ku. Aku mencurahkan seluruh perasaanku di buku itu. Mulai dari rasa sedih, kesal, marah dan kekecewaanku atas apa yang dia lakukan. Apakah aku sudah tidak penting untuknya? Siapa aku di matanya?
Berbagai pertanyaan berkecamuk di pikiranku. Kenapa Yongguk tiba-tiba tidak bisa dihubungi? Bagaimana Anja bisa mengenal Yongguk? Kenapa Ji Eunike maupun Junhong tidak memberi kabar? Apa hubungan Anja dan Yongguk? Dan yang paling menyakiti hatiku, 'apa aku sudah tidak berarti lagi untuknya?'
Anja... Semua gara-gara Anja... Gara-gara Anja semuanya jadi begini. Yongguk juga berubah karena Anja... Anja... LO LIAT PEMBALASAN GUE!!!
*
"Jamie... Please, tolongin aku dong," aku menyatukan kedua telapak tanganku dan memohon.
"Bantuin apa?" Tanya Jamie tanpa minat. Sejak ditolak Anja, dia jadi tidak se-ceria dulu.
"Jangan bilang-bilang Anja, ya. Aku kemarin ngobrol sama Anja, katanya dia sebenernya suka sama kamu, cuman..." Aku sengaja membuat Jamie penasaran. Dan benar saja, dia terpancing oleh kebohonganku.
"Cuman apa?" Matanya berbinar penuh semangat. Kena kau! Hahaha...
"Cuman katanya dia yakin kamu nggak bakal direbut cewek lain. Makanya dia nggak mau janjian sama kamu," dustaku. "Makanya... Aku mau bantuin kalian dengan cara..."
"Apa? Apa? Cara apa? Aku bakal lakuin apa aja!"
"Aku mau bikin dia envy... Kita pura-pura jadian."
Awalnya Jamie tampak ragu. Dia melipat kedua tangannya di depan dada dan memandang ke langit-langit. "Hngg... Kamu yakin cara ini akan berhasil?"
"100%!" Aku mengangguk. "Cewek itu paling nggak tahan kalo cowok yang dia suka direbut cewek lain."
"Oke, deh, kalo gitu."
Kami saling mengaitkan jari kelingking kami. Aku melirik ke kanan diam-diam. Anja baru saja datang. Dia tampak kaget melihat aku berduaan dengan Jamie. Aku memeluk Jamie dengan erat, berpura-pura tidak tahu kalau Anja ada di sana. Aku sengaja memanggil Anja ke sini dengan alasan ingin menceritakan sesuatu.
"Oh! Anja!" Aku menoleh dam memandang wajah Anja. Dia terlihat shock. YES!!! "I'm so happy!!! Akhirnya aku sama Jamie jadian!"
Sunday, April 7, 2013
Chapter 16
-Schuyler POV-
Sekolah. Akankah hari ini seindah kemarin? Mungkin iya, atau bahkan tidak. Kemarin itu, mengapa orang tua selalu menyebalkan? Mau ini, mau itu, harus menuruti ini, harus menuruti itu, entahlah. Sebelum memulai sekolahku, aku membuka sebuah buku. Buku dengan kaitan tiga ring dan sampul dengan foto kami, fotoku dan Daniel. Sesaat aku membuka buku itu, dan memulai untuk menulis di atas kertas hitam itu.
***
Aku mengharapkan hari Valerie seperti kertas diaryku sekarang. Aku ingin menghancurkan apa yang terdapat di dalam dirinya. Aku harap tak sulit. Tapi, ada satu hal yang harus aku pastikan. Sudah dulu pagi ini.
***
"Ke mana kau kemarin?" Tanyaku begitu kakiku sampai di kelas itu. Kelas tiga sekawan itu.
"A... Eum, rumah sakit. Mengapa? Ada masalah?" Aku mengangkat sebelah alisku. Rumah sakit?
"Mengapa kau gugup? Aku yakin sesuatu yang buruk padamu. Tapi... terserah, aku tak peduli. Aku ingin kau temani aku pulang nanti, berjalan-jalan dan aku ingin mengenalkan kau pada temanku." Aku berbicara panjang lebar. Entah ia mengerti atau tidak. Aku segera meletakkan tasku dan pergi ke arah toilet. Aku sekedar membasuh wajahku, menghela nafasku dan kembali membasuh wajahku lagi. Ketika aku menatap ke arah cermin. A... ada... Mengapa ada dia?!
"Kau!! Mengapa kau...!!" Aku melihat sendiri orang itu membekapku. Gila saja, aku hampir mati karena tangannya menutup mulut dan saluran pernafasanku. Aku pun meronta, tentu saja dengan sekuat tenagaku.
"Schuyler, diam! Aku ingin membawamu keluar dari sini. Ganti bajumu dengan seragam ini." Aku mendengar suara suatu barat yang jatuh, begitu juga dengan kembalinya semua sistem pernafasanku.
"Kau gila, Xi Luhan! Mana ada laki-laki yang membekapku seperti itu. Keluar, untuk apa?!" Tanyaku. Tentu aku tak mau.
"Sudah! Kau ini..."
Aku merasakan sesuatu menghantam kepala dan tengkukku. Aku terdiam sesaat, sementara aku merasakan semua sarafku mati. Dan, aku tidak melihat apa-apa. Gelap sempurna. Dan saat itulah, terasa hidungku menolak menarik udara ke dalam...
Sekolah. Akankah hari ini seindah kemarin? Mungkin iya, atau bahkan tidak. Kemarin itu, mengapa orang tua selalu menyebalkan? Mau ini, mau itu, harus menuruti ini, harus menuruti itu, entahlah. Sebelum memulai sekolahku, aku membuka sebuah buku. Buku dengan kaitan tiga ring dan sampul dengan foto kami, fotoku dan Daniel. Sesaat aku membuka buku itu, dan memulai untuk menulis di atas kertas hitam itu.
***
Aku mengharapkan hari Valerie seperti kertas diaryku sekarang. Aku ingin menghancurkan apa yang terdapat di dalam dirinya. Aku harap tak sulit. Tapi, ada satu hal yang harus aku pastikan. Sudah dulu pagi ini.
***
"Ke mana kau kemarin?" Tanyaku begitu kakiku sampai di kelas itu. Kelas tiga sekawan itu.
"A... Eum, rumah sakit. Mengapa? Ada masalah?" Aku mengangkat sebelah alisku. Rumah sakit?
"Mengapa kau gugup? Aku yakin sesuatu yang buruk padamu. Tapi... terserah, aku tak peduli. Aku ingin kau temani aku pulang nanti, berjalan-jalan dan aku ingin mengenalkan kau pada temanku." Aku berbicara panjang lebar. Entah ia mengerti atau tidak. Aku segera meletakkan tasku dan pergi ke arah toilet. Aku sekedar membasuh wajahku, menghela nafasku dan kembali membasuh wajahku lagi. Ketika aku menatap ke arah cermin. A... ada... Mengapa ada dia?!
"Kau!! Mengapa kau...!!" Aku melihat sendiri orang itu membekapku. Gila saja, aku hampir mati karena tangannya menutup mulut dan saluran pernafasanku. Aku pun meronta, tentu saja dengan sekuat tenagaku.
"Schuyler, diam! Aku ingin membawamu keluar dari sini. Ganti bajumu dengan seragam ini." Aku mendengar suara suatu barat yang jatuh, begitu juga dengan kembalinya semua sistem pernafasanku.
"Kau gila, Xi Luhan! Mana ada laki-laki yang membekapku seperti itu. Keluar, untuk apa?!" Tanyaku. Tentu aku tak mau.
"Sudah! Kau ini..."
Aku merasakan sesuatu menghantam kepala dan tengkukku. Aku terdiam sesaat, sementara aku merasakan semua sarafku mati. Dan, aku tidak melihat apa-apa. Gelap sempurna. Dan saat itulah, terasa hidungku menolak menarik udara ke dalam...
Thursday, April 4, 2013
Chapter 14
Valerie’s POV
Kubantingkan
tubuhku ke kursiku. Arghh! Menyebalkan sekali! Benar-benar hari yang
menyebalkan! Mengkuti Schuyler kesana-kemari, seolah-olah aku babunya! Dan lagi,
ia tidak mengucapkan satu patah kata pun! Padahal, seharian ini aku mengajaknya
bicara. Satu-satunya waktuku untuk beristirahat hanya pada KBM. Aku juga telah
memutuskan untuk menginap di rumahnya untuk sementara ini. Selain karena
deadline pembayarannya tinggal sebentar, aku juga ingin mengenalnya dengan
lebih baik. Kupikir, ini akan menjadi semacam pajama’s party or something like
that, tapi nyatanya aku disuruh tidur di lantai selama ia tidur di ranjang
mewahnya!
Lucy dan Claudia
menghampiriku, namun tidak kugubris. Selain tidak ingin masalahku tersebar, aku
juga tak ingin membuat mereka khawatir. Setelah mereka memastikan keadaanku, kutelungkupkan
kepalaku ke atas meja. It’s gonna be a really long week.
*
Kubereskan barang-barangku
secepat kilat. Aku harus pergi ke rumah sakit secepatnya karena izin dari Tante
Lizzie, mama Schuyler, hanya satu jam dari bubar sekolah. Kalau lewat… hiii aku
tak berani membayangkannya!
“Val!”
Kupalingkan mukaku
ke arah suara tersebut. Siapa sih? Orang lagi buru-buru gini juga! Terlihat Jamie
berlari-lari kecil menghampiriku.
“Gimana kemaren?
Sukses?” selaku sebelum ia sempat mengatakan apapun, senyum tersungging di
bibirku.
Ia menggeleng. Raut
mukaku pun berubah.
“Sabar ya. Pasti ada
alasannya dia nolak lu.”
“Ya, tapi dia
ngacangin gue, Val, dari kemaren!”
“Oh ya? Anja sampe
ngacangin lu?”
“Iya, makanya gue
mau minta lu bujukkin Anja sekarang.”
“Duhh, Jam. Lu tau ndiri. Gue… Schuyler… Rumah
sakit…” kugigit bibir bawahku.
“Ok deh. Nggak
papa. Gue juga baru inget. Sip deh, ada Hyosung kok.” Ia menunjuk ke arah Hyosung
yang beru keluar dari kelas.
“Let God bless
you.” Aku pun bergegas pergi.
*
Kamar 209. Nah,
sampai! Aku baru saja akan membuka pintu berwarna putih itu saat sebuah tangan menghalangiku.
Josh!
“Josh!?!? Kok,
kok, kamu ada di Indonesia?”
Ia hanya
menyunggingkan senyum khasnya. Oh no, jangan senyum itu.
“Why don’t you
tell me?”
“Tell you about?”
“Your mom! You promised
me, if you have any trouble, you’ll tell me!”
Hening.
“Just go. I’ll
drive you later,” ucapnya lagi.
Chapter 13
Hyosung's POV
Aneh... Ini benar-benar aneh. Hari ini ada
yang aneh. Semuanya sangat aneh. Valerie terus mengikuti Schuyler ke manapun ia
pergi. Padahal biasanya saat istirahat ia selalu pergi ke sana ke mari, mengunjungi
berbagai tempat atau melakukan berbagai macam hal. Tapi hari ini tidak. Valerie
hanya mengikuti Schuyler. Sementara itu, Schuyler seperti tidak memperdulikan
Valerie. Valerie berusaha mengajaknya berbicara, tetapi ia hanya diam saja. Ada
yang lain di dalam diri mereka, yang membuat mereka terlihat aneh di mataku.
Anja menjauhi Jamie, padahal biasanya
mereka selalu bersama-sama ke manapun mereka pergi. Ketika Anja melihat Jamie,
maka ia akan langsung sembunyi. Rutinitas belajar bersama mereka di perpustakaan
setiap jam istirahat kedua juga tidak terjadi hari ini. Sepertinya mereka
bertengkar, mungkin karena Jamie menyatakan cintanya pada Anja kemarin. Apa
Anja menolaknya? Sepertinya begitu.
Luhan terus memandangi langit selama jam
pelajaran berlangsung. Ia sampai ditegur oleh beberapa guru. Terkadang ia juga
melamun sambil mencorat-coret buku pelajarannya. Aku ingin bertanya, tetapi aku
tidak terlalu dengannya. Aku tidak ingin dianggap sebagai
‘orang-yang-suka-mencampuri-urusan-orang-lain’. Jadi, aku pun mengurungkan
niatku dan hanya memandanginya, berharap mendapat ilham.
Yongguk tidak bisa dihubungi sejak kemarin
malam. Dia tidak on di Whatsapp dan Skype-nya juga off. Kucoba mengirim SMS,
tak ada balasan. Aku me-mention-nya di Twitter, tidak ada respon. Padahal
biasanya kami selalu berhubungan setiap hari. Apa yang terjadi padanya? Apa
yang terjadi pada semua orang hari ini? Kenapa? Ada apa dengan kalian semua?
Kucurahkan seluruh perasaanku di buku
suratku untuk Yongguk. Semoga saat membacanya, dia merasa bersalah dan minta
maaf. Tidak mungkin dia kenapa-napa karena aku sudah menghubungi Ji Eun dan dia
bilang Yongguk masih sehat seperti biasanya. Ada yang aneh… aku juga sudah
meminta Junhong untuk menanyakan masalah ini kepada Yongguk. Dia membalas
pesanku dengan kata “Oke!” tapi sampai sekarang belum ada pemberitahuan lebih
lanjut. Apa Yongguk tidak mau menjawab?
“Hyosung… Tolong aku, please…” tiba-tiba
Jamie menghampiriku sepulang sekolah.
“Ya, ada apa?” balasku.
“Anja menolakku dan menjauhiku. Aku tidak
keberatan ditolak tapi aku tidak mau dia menjauhiku. Tolong ikut aku ke rumah
kami dan tanyakan soal itu padanya, ya… Please…”
“Boleh... Tunggu, ya.” Aku mengirim SMS
pada supirku kalau aku akan pergi ke rumah temanku. “Ayo kita pergi sekarang.
Kau harus mengantarku pulang, ya?” Jamie mengangguk.
***
“Anja!!! Ada temen kamu yang datang,
nih!!!” teriak ibu Anja di depan pintu kamarnya. “Masuk saja, Hyosung. Anja
lagi main internet.”
Aku membuka pintu pelan-pelan dan melihat
Anja duduk membelakangiku dengan laptop di hadapannya. Aku tersentak melihat
apa yang terpampang di layar laptop Anja. YONGGUK!!! Anja sedang Skype-an
dengan Yongguk! Detik itu juga, kubanting pintu kamar Anja dan berlari
meninggalkan rumah itu.
Wednesday, March 27, 2013
Author's Note: Yumi Yuli
Hi! This is Yumi Yuli, as you have known on Muffin Story, and this is my first time working with other authors (or what you can say high school students who are aspiring writer). I will be writing in the point of view of Anjani (Anja), and James (Jamie). But my main character is Anjani. There might be more point of view of other new characters of mine, but let's just keep that for later on. It will be very exciting, and probably some of you wonders why I mention a different blog than N.C. and A.Z. Let's just say that I don't collaborate on Zehn-Vier project with them, so I mentioned mine. But check theirs too, because the stories are thrilling.
Anyway, rather than disturbing your activity (of reading) by this note, I'd rather present you this story, a mix of everything at once. We hope that you enjoy it, and that the story will lasts and lingers at the back of your head. Pop it out sometimes, and spread it to others. Oh! And we are very open for your critics and comments. Feel free to interact with us.
Hi! YumiYuli di sini, dan ini pertama kalinya gue bekerja sama dengan penulis lain (alias anak SMA yang terobsesi menjadi penulis seperti gue, haha). Gue akan menulis dalam POV-nya Anjani (Anja), dan James (Jamie). Tapi pemeran utama dari gue adalah Anjani. Tentunya akan ada POV-POV lain dari karakter yang baru yang akan datang, tetapi disimpan saja itu untuk nanti. Mungkin ada diantara kalian yang bertanya-tanya kenapa gue menulis website yang berbeda dengan N.C. dan A.Z. Gue nggak bekerja di project mereka yang lain, jadi gue tulis yang punya gue. Tapi, teteup kalian harus baca project mereka,karena isinya SERU BANGET.
So, selamat membaca, have fun, dan semoga kalian suka. Jangan lupa komen dan rekomen(dasi) blog ini.
Cheers!
YumiYuli X
So, selamat membaca, have fun, dan semoga kalian suka. Jangan lupa komen dan rekomen(dasi) blog ini.
Cheers!
YumiYuli X
Tuesday, March 26, 2013
Author's Note from N.C
Halo semuanya, nama gue N.C. atau kalo kalian udah baca AN-nya Angela, Nathania Chen. Bagi yang bingung, pen name gue ada dua, N.C sama N.Z. N-nya sama-sama Nathania cuman Z-nya itu nama keluarga yang masih dirahasiakan. Hehehe... Gue bakal seneng banget kalo ada yang mau tinggalin komen atau kirim e-mail ke gue terkait cerita yang kita tulis ini. Oh ya, tokoh utama gue Hyosung. Dan soal blog gue dan Angela, zehnvierjn.blogspot.com, kita bakal seneng banget kalo kalian baca atau sekalian promosiin ke temen-temen kalian. Tapi attention! Itu dalam bahasa Inggris, jadi mungkin akan sedikit membingungkan. Tapi Inggrisnya nggak susah-susah banget kok, jadi gak usah liat-liat kamus. Semoga kalian menikmati ;)
N.C.
Chapter 12
- Schuyler POV -
Baiklah. Aku masih
tak mengerti hari ini. Bayangkan saja, aku masih belum bisa menghafal
wajah-wajah itu. Aku hanya ingat ada seseorang yang seperti orang-orang di
video klip korean pop yang terkenal
itu. She’s so Korean. Satu lagi, looks so Indonesian. Dan yang satu
lagi... entahlah.
Hari pertama masuk
sekolah, aku bahkan belum bisa mengerti apa yang terjadi di kelas internasional
itu. Sedikit orang, entahlah. Aku bahkan mengakui bahwa otakku tak dapat
mengingat secara cepat. Butuh 1-2 minggu untuk itu.
Ah, laki-laki itu. Ya,
tentu aku mengingat laki-laki cina yang selalu bersama Daniel. Aku bahkan tak
tahu ia telah menapakkan kakinya di Indonesia. Ya, Luhan. Aku mengingatnya.
-Flashback-
“Kau Schuyler?”
Aku terdiam. Siapa? Aku
tak merasa diikuti sedari tadi. Aku pun berbicara tidak dengan suara yang
keras. Dia siapa? “Iya?” jawabku tanpa menoleh. Aku takut, sesuatu yang buruk
terjadi. Dan tiba-tiba aku mengingat saat ia memegang tanganku saat aku takut. Aneh,
namun air mataku jatuh lagi. Aku menahan suara isakanku. Namun percuma saja,
air mataku sudah jatuh ke lantai berornamen kayu itu. Coklat. Aku seperti
melihat semburat kehadirannya. Bayangan gelap yang tak dapat kuraih walau aku
berlari.
“Jangan menangis.”
Aku tersadar dari lamunanku.
Ia siapa? “Kau... siapa?” tanyaku yang masih sedikit terisak.
“Aku? Laki-laki yang
sedari tadi kau pandangi. Kau bertanya-tanya mengapa aku melihat ke arah jendela?
Iya?”
Aku terdiam. Air mataku
tiba-tiba tertahan, dan kepalaku secara tak sadar mengangkat dirinya sendiri
dan mataku dengan sendirinya menatap mata dan wajah orang itu. “A... Apakah
kita pernah bertemu? Apa aku mengenalmu?”
“Kau tidak mengenalku,
Schuyler. Aku juga tidak mengenalmu. Sedari tadi, aku melihat bayangan wajahmu
melewatu sinar matahari yang memantulkan wajahmu. Kau sangat cantik,
percayalah. Dan liontin itu sangat cocok menggantung pada lehermu. Kau tahu,
kita memang tidak pernah bertemu. Namun, ingatkah kau atas kejadian 4 tahun
yang lalu?”
Aku terdiam. 4 tahun
lalu? Entahlah aku masih mengingatnya atau sudah melupakannya. 4 tahun yang
lalu? Yang mana? Banyak hal yang terjadi
pada 4 tahun yang lalu. Apakah mungkin jika... “Berkaitan dengan...
Daniel?” tanyaku penasaran. Aku tak mungkin percaya apabila ia mengatakan hal
yang tak ingin aku dengar.
“Tentu saja. Ia meninggal
3 minggu yang lalu bukan? Dan itu mengapa kau pindah kemari? Melupakan Daniel?”
Aku terdiam, tak
tahu harus bicara apa, tak tahu harus melakukan apa. “Ba... Bagaimana kau...
tahu?”
-End of flashback-
“Schuyler.”
“Oh, what?!” aku tersadar dari lamunanku
itu. Akupun sedikit berteriak pada ibuku yang berada di luar kamarku.
“I got something. You’ll be accompanied by a
girl. In Indonesia. Starts tomorrow.”
“WHAT?! You’ve gotta be joking, Mom!” dan seketika itu
pula, aku punya rencana besar.
Subscribe to:
Posts (Atom)