Valerie’s POV
Tiba-tiba terdengar suara teriakan Jamie, “Hyosung!”
Hyosung? Ada apa dengan Hyosung? Terdengar suara
pintu yang terbuka lalu dibanting. Akupun berlari keluar, mengabaikan larangan
Anja. Rasa khawatirku lebih besar.
“Hyosung kenapa, Jam!?”, teriakku.
“Lu disini!?”, balasnya kaget. Matanya terbelalak.
“Hyosung kenapa???”, desakku lagi, mengabaikan
keterkejutannya.
“Ikut gua.”
***
Lambang UGD tertulis besar-besar disana. Aku duduk
termenung. Kakiku tak dapat berhenti bergetar, menandakan besarnya rasa
khawatirku. Hyosung... apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu tiba-tiba pingsan? Ada
apa denganmu, Jamie, dan Anja?
‘Nyuut.” Kepalaku terasa sedikit sakit. Rasanya ada
yang menekannya.
“So that’s
Val’s mom?”
“Yeah...”
Josh!? Itu kan suara Josh!? Aku menoleh cepat ke
arah suara tersebut. Disanalah kulihat Josh dan Schuyler. Berdiri
berhadap-hadapan di depan kasir.
‘Nyuuut.’ Rasa itu muncul lagi, namun aku
mengabaikannya. Kata pertama yang keluar dari mulutku tanpa kusadari adalah, “Josh?!”
Mereka berdua menoleh serempak ke arahku. Josh
dengan ekspresi kaget, Schuyler dengan ekspresi meremehkannya.
Aku melangkah cepat ke arah mereka, mengabaikan
rasa sakit yang sedari tadi menyerang kepalaku.
“Ngapain lu bayarin nyokap gue? Gue NGGAK BUTUH
belas kasihan lu!”
‘Nyuuuut.’
“Gua nggak... gua nggak bermaksud buat...”, Josh
terlihat panik. Dari sudut mataku, dapat kulihat Schuyler mengernyit. Ia pasti
tidak mengerti apa yang kami bicarakan. Biar saja! Aku tak perduli!
“Gue nggak butuh alasan! Gue bisa ngurus diri
gue sendiri, juga keluarga gue!”
‘Nyuuuuut.’
Kuraih setumpuk uang di tasku, gaji yang Tante
Lizzie berikan tadi siang. “Lu kira lu bisa beli gue!? Nggak! Lu salah besar,
Josh Cain!”, ku lemparkan amplop berisi uang gajiku tadi ke arah Josh. “Nih! Gue
balikkin! Gue nggak butuh rasa kasihan dari lu,” kutunjukkan telunjukku pada
Josh, lalu kepada Schuyler selagi berkata, “apalagi dari lu! Gue nggak sudi
ngemis-ngemis sama lu!”
‘Plakk!’
Satu detik... dua detik.. aku tak dapat
merasakan apapun. Rasanya seperti mati rasa, lalu aku mulai dapat merasakan
rasa panas menjalari pipi kiriku. Perlahan-lahan, semakin lama semakin sakit.
“Schuyler! What
the- Do you know what the hell you just did!?”, geram Josh.
“Why are
you defending her? She’s just... not worth it. She deserves it!”, katanya
santai, seperti baru saja membuang sampah pada tempatnya lalu ditegur.
‘Nyuuuuuut. Nyuut.’
Josh mendekatiku, “Are you alright?”. Dapat kurasakan tangannya menyentuh pelan pipi
kiriku.
“Let go of
me!”, kutepis tangannya dengan tangan kiriku.
“See?!”,
Schuyler kembali memprovokasi.
“It’s none
of your business.”, dari celah-celah mataku, kulihat Josh memelototi
Schuyler. Schuyler hanya acuh tak acuh menanggapinya.
‘Nyuuut. Nyuuuut. Nyuuuuut.’ Kepalaku mulai
terasa semakin sakit, semakin sakit dan akhirnya seperti mau pecah dan setelah
itu, semuanya menjadi gelap.
No comments:
Post a Comment