Monday, April 8, 2013

Chapter 22


POV – Anja

Aku menenangkan diri.
***
“Farid, besok lu jemput gue dari sekolah ya?” aku berbaring di kasurnya. Ia menatapku.
“Kamu sama Jamie, kalian berantem?” Farid sedang mengetik tugasnya. Meski begitu, sesekali ia melirikku. Mataku mulai berkaca-kaca. Farid yang awalnya melirikku kini sudah duduk di kasur, di sebelahku.
“Jamie pacaran-“ suaraku tercekat. Farid mengelus pundakku canggung. “Kemarin-“ aku menceritakan segalanya. Farid mendengarkan ceritaku sambil mengambilkan tisu. “Maap, gue lagi PMS, jadi sensitif gini.” Farid tersenyum.
“Udah, kamu kujemput besok. Pulang jam berapa, Ni? Aku samperin ke kelas.” Aku menangis memeluk Farid.
***
Sekarang, Valerie sudah berada di kamarku. Aku memang diam disana setelah kembali dari kamar Farid. Rambutku masih berantakan. Valerie mencoba menenangkanku. Tiba-tiba Jamie mengetuk pintu. Aku diam saja. Valeriepun tak kuizinkan membuka. Biar. Aku butuh ketenangan. Tiba-tiba ada telepon masuk dari HP Valerie. Valerie mengangkatnya. Ada sesuatu di wajahnya yang mengatakan bahwa ia panik. Ia sempat berkali-kali berkata “Mama.” Lalu keningnya mengernyit. Pada ujung telepon, ia bernapas lega. Aku menatapnya.
“Ada apa?” tanyaku. Jamie sepertinya sudah menyerah. Tak ada lagi gedoran di pintu. Biar. Paling juga ke Farid.
“Nggak, mamaku,” Valerie menjelaskan. “Katanya rumah sakit operasi mamaku lancar. Tapi tiba-tiba ada seseorang bayarin.”
“Bukannya bagus?” tanyaku. Aku mengernyit sedikit. Aku tahu ibu Valerie sakit. Tetapi aku tak tahu apa penyakitnya.
“Masalahnya, yang bayarin itu mantanku.” Ia menghela napas. Wajahnya kusut. Tentu, pekerjaan mengurasnya.
POV – Jamie

Sampai sekarang, aku masih belum mengerti perempuan. Meski tinggal dengan Anja, aku masih kesulitan mengenalnya. Sekarang ia mengacuhkanku, setelah Hyosung menyatakan “hubungan”nya denganku. Aku berjalan ke kamar Farid dan mengetuk pintu. Terdengar balasan, “masuk”. Aku membuka pintu. Seperti biasa, ia sedang bekerja.
“Kamu ada apa dengan Anjani? Tadi dia datang kesini, cerita sampai nangis lho tentangmu.” Farid berbalik menatapku. Shoot. Dia bisa memarahiku karena membuat “adik”nya menangis. “Kalian kalau mau berantem jangan kebangetan juga.” Suara bass Farid membuatnya terdengar seperti kakak yang penuh wibawa dan bijak. “Kamu “pacaran” sama Hyosung ‘kan? Supaya Anja jealous?” memang Farid pintar. Ia bisa menebak rencanaku.
“Kupikir itu jalan terbaik. Apa aku terlihat seperti memaksanya untuk mencintaiku, Farid agha?”
“Tumben pakai ‘agha’,” Farid berdeham. “Bukan begitu, Jamie agha. Tahukah kamu, Anjani sebenarnya menyayangimu? Namun sayangnya, Anjani belum belajar untuk mencintai. Anjani bercerita padaku ‘Farid, seharusnya gue bahagia karena Jamie akhirnya punya pacar ‘kan? Tapi kenapa gue malah nangis kecewa? Apa karena dia udah janji, Farid? Farid, gue bingung.’ Kamu membuat janji, Jamie agha. Kamu membuat janji untuk menyayanginya, janji harus dibayar.” Kok rasanya jadi melankolis begini? Inikah “pembicaraan pria” yang selalu Anja pertanyakan? Entah. Aku tidak seromantis itu.
“Nasihat Farid agha baik sekali,” jawabku. “Aku selalu berharap bisa seromantis Farid agha.”
Farid tersenyum. “Pengalaman itu penting, Jamie agha.” Ia menepuk pundakku. “Kembalilah dan jelaskan yang sebenarnya pada Anjani.”
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Dari Hyosung. Bagus! Tepat saat aku ingin mengatakan untuk mengakhiri permainan ini. Saat kuangkat hanya terdengar suara Hyosung yang tercekat, “Jamie-“
“Hyosung?!!” aku harus ke rumahnya. Sekarang.

No comments:

Post a Comment