POV – Anja
Aku menenangkan diri.
***
“Farid, besok lu jemput gue dari sekolah ya?”
aku berbaring di kasurnya. Ia menatapku.
“Kamu sama Jamie, kalian berantem?” Farid sedang
mengetik tugasnya. Meski begitu, sesekali ia melirikku. Mataku mulai
berkaca-kaca. Farid yang awalnya melirikku kini sudah duduk di kasur, di sebelahku.
“Jamie pacaran-“ suaraku tercekat. Farid
mengelus pundakku canggung. “Kemarin-“ aku menceritakan segalanya. Farid
mendengarkan ceritaku sambil mengambilkan tisu. “Maap, gue lagi PMS, jadi
sensitif gini.” Farid tersenyum.
“Udah, kamu kujemput besok. Pulang jam berapa,
Ni? Aku samperin ke kelas.” Aku menangis memeluk Farid.
***
Sekarang, Valerie sudah berada di kamarku. Aku
memang diam disana setelah kembali dari kamar Farid. Rambutku masih berantakan.
Valerie mencoba menenangkanku. Tiba-tiba Jamie mengetuk pintu. Aku diam saja.
Valeriepun tak kuizinkan membuka. Biar. Aku butuh ketenangan. Tiba-tiba ada
telepon masuk dari HP Valerie. Valerie mengangkatnya. Ada sesuatu di wajahnya
yang mengatakan bahwa ia panik. Ia sempat berkali-kali berkata “Mama.” Lalu
keningnya mengernyit. Pada ujung telepon, ia bernapas lega. Aku menatapnya.
“Ada apa?” tanyaku. Jamie sepertinya sudah
menyerah. Tak ada lagi gedoran di pintu. Biar. Paling juga ke Farid.
“Nggak, mamaku,” Valerie menjelaskan. “Katanya
rumah sakit operasi mamaku lancar. Tapi tiba-tiba ada seseorang bayarin.”
“Bukannya bagus?” tanyaku. Aku mengernyit
sedikit. Aku tahu ibu Valerie sakit. Tetapi aku tak tahu apa penyakitnya.
“Masalahnya, yang bayarin itu mantanku.” Ia
menghela napas. Wajahnya kusut. Tentu, pekerjaan mengurasnya.
POV – Jamie
Sampai sekarang, aku masih belum mengerti
perempuan. Meski tinggal dengan Anja, aku masih kesulitan mengenalnya. Sekarang
ia mengacuhkanku, setelah Hyosung menyatakan “hubungan”nya denganku. Aku
berjalan ke kamar Farid dan mengetuk pintu. Terdengar balasan, “masuk”. Aku
membuka pintu. Seperti biasa, ia sedang bekerja.
“Kamu ada apa dengan Anjani? Tadi dia datang
kesini, cerita sampai nangis lho tentangmu.” Farid berbalik menatapku. Shoot. Dia bisa memarahiku karena membuat
“adik”nya menangis. “Kalian kalau mau berantem jangan kebangetan juga.” Suara
bass Farid membuatnya terdengar seperti kakak yang penuh wibawa dan bijak.
“Kamu “pacaran” sama Hyosung ‘kan? Supaya Anja jealous?” memang Farid pintar. Ia bisa menebak rencanaku.
“Kupikir itu jalan terbaik. Apa aku terlihat
seperti memaksanya untuk mencintaiku, Farid agha?”
“Tumben pakai ‘agha’,” Farid berdeham. “Bukan begitu, Jamie agha. Tahukah kamu, Anjani sebenarnya menyayangimu? Namun
sayangnya, Anjani belum belajar untuk mencintai. Anjani bercerita padaku
‘Farid, seharusnya gue bahagia karena Jamie akhirnya punya pacar ‘kan? Tapi
kenapa gue malah nangis kecewa? Apa karena dia udah janji, Farid? Farid, gue
bingung.’ Kamu membuat janji, Jamie agha. Kamu membuat janji untuk menyayanginya,
janji harus dibayar.” Kok rasanya jadi melankolis begini? Inikah “pembicaraan
pria” yang selalu Anja pertanyakan? Entah. Aku tidak seromantis itu.
“Nasihat Farid agha baik sekali,” jawabku. “Aku selalu berharap bisa seromantis
Farid agha.”
Farid tersenyum. “Pengalaman itu penting, Jamie agha.” Ia menepuk pundakku. “Kembalilah
dan jelaskan yang sebenarnya pada Anjani.”
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Dari Hyosung.
Bagus! Tepat saat aku ingin mengatakan untuk mengakhiri permainan ini. Saat kuangkat
hanya terdengar suara Hyosung yang tercekat, “Jamie-“
“Hyosung?!!” aku harus ke rumahnya. Sekarang.
No comments:
Post a Comment